Senin, 30 Agustus 2010

Pulang...

Kalau saya perhatikan saat-saat menjelang hari Raya seperti sekarang ini, hampir semua orang terutama orang-orang muslim mulai sibuk mencari dan mengumpulkan “rupiah” untuk mereka bawa pulang untuk dibagikan kepada sanak keluarga ketika mereka kembali mengunjungi kampung halaman untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Dari jauh-jauh hari mereka sudah membuat rencana agar bisa pulang ke kampung halaman untuk serangkaian “ritual”, mulai dari berziarah ke makam keluarga dekat maupun kerabat yang sudah meninggal, menemui keluarga yang masih hidup untuk menjalin kembali tali silahturahmi yang mungkin pernah terputus.

Sudah menjadi hakekat jika kita sebagai manusia selalu rindu kepada sesuatu yang membuat kita ingin kembali “pulang”. Ya, pulang menuju sebuah tempat yang nyaman, tenteram, dan membuat kita merasa menjadi sesuatu. Saya mengerti bahwa pada akhirnya nanti kita semua akan “pulang” mengunjungi Allah untuk melepaskan segala kerinduan dan memohon segala ampunan dengan membawa “oleh-oleh” berupa amal kebaikan yang kelak agar kita  diterima di sisi-Nya. Namun jika merujuk pada pemahaman itu, saya mulai bertanya-tanya tentang kita semua yang masih diberi waktu untuk bisa belajar lebih untuk “memperbaiki diri” oleh-Nya, “apakah kita tahu kemana saat ini kita harus pulang?”.

Saya sering perhatikan kalau di dunia ini begitu banyak manusia yang “tersesat” dan tidak tahu kemana mereka harus pulang. Mereka berjalan dari satu tempat menuju tempat lainnya untuk sekedar mencari tahu, apakah ini tempat mereka untuk “pulang” ? Saya melihat pasangan suami-isteri yang terlalu sering cekcok karena perbedaan pendapat yang membuat mereka mencari “rumah” mereka masing-masing, mulai dari diskotik, klab malam, panti pijat plus+, sampai arisan “berondong”. Anak-anak  yang menemukan “rumah” mereka di dalam lingkungan pergaulan bebas hanya karena orang tua mereka yang jarang mereka temui, padahal mereka tinggal dalam satu atap yang sama. Atau yang paling parah dari yang pernah saya temui adalah mereka yang terpaksa harus menjadi orang lain atau mengikuti segelintir aturan atau “mainstream” yang bertentangan dengan dirinya hanya karena orang-orang terdekat  menuntutnya untuk seperti itu, sehingga ia merasa tidak lagi memiliki “rumah”.

Mungkin saya terlalu berlebihan dengan pandangan dan pemikiran saya ini, tapi itu yang sering saya temui dalam diri beberapa orang yang saya jumpai di kehidupan saya. Saya melihat tangisan mereka saat mereka tersenyum, saya juga mendengar jeritan mereka saat mereka tertawa. Saya coba melihat, mendengar, dan merasakan hal ini secara mendalam, betapa sedihnya mereka karena ketika masih di dunia saja mereka tidak tahu kemana mereka harus “pulang”, bagaimana nanti kelak di “Hari Perhitungan”?

Dari sini saya belajar lagi mengenai satu hal, bahwa setiap orang harus memiliki “rumah” bagi hatinya. Bahwa kita sebagai manusia harus bergegas “pulang” untuk sekedar menemui, mengerti, dan memahami kalau hidup kita begitu berarti ketika kita di “rumah”, kita merasa menemukan jalan “pulang”.

1 komentar:

  1. saya juga tidak tau kapan kita pulang?bukan hanya sekedar pulang tapi saya harus mempersiapkan mulai hari ini lusa bulan depan dan tahun depan....dan seterusnya....

    BalasHapus