Selasa, 13 Desember 2011

Penyakit Lupa???


Kemarin malam saya menyaksikan sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta yang temanya mengulas kabar yang sudah beberapa waktu ini menjadi hot topic di kalangan elit politik, soal tertangkapnya tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan gubernur deputi senior BI, nunun nurbaeti. Ya, istri dari anggota komisi tiga dewan perwakilan rakyat, adang daradjatun ini akhirnya berhasil ditangkap atau dalam kajian bahasa indonesia yang lebih sopan, “diamankan”, setelah hampir sekian waktu membuat beberapa pihak (kpk, polri, dan intelejen negara) menjadi ekstra sibuk mencari keberadaannya di luar negeri.

Yang menarik buat saya dari pembahasan acara malam itu bukanlah soal bagaimana proses tertangkapnya nunun, tapi soal pernyataan dari dokter pribadi nunun nurbaeti yang menyatakan kalau “pasien”nya itu mempunyai penyakit lupa (mungkin semacam gejala demensia atau amnesia). Memang cukup aneh (dan malah terkesan mengada-ada), bagaimana bisa seseorang yang mempunyai penyakit lupa bisa melakukan perjalanan (pelarian) ke beberapa negara dan dalam waktu yang tidak sebentar. Cukup aneh ya?

Fenomena “penyakit lupa” yang dialami oleh nunun nurbaeti ini sangat menarik, mengingat bahwa di peradaban yang moderen ini ternyata masih ada sejumlah orang yang memiliki masalah dengan proses merekam dalam sistem kognisi. Saya teringat dengan beberapa orang yang pernah berbagi permasalahan (atau dalam istilah yang lebih ke-kini-an disebut “kegalauan”) mereka dengan saya. Mulai dari masalah yang paling populer, percintaan, sampai dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Hampir semua permasalahan (kegalauan) mereka ini berujung pada harapan untuk bisa melupakan permasalahan mereka (seringnya berkisar sakit hati, “melupakan mantan pacar”).

Sebagai orang yang pernah belajar tentang ilmu psikologi, sedikitnya saya paham soal “penyakit lupa” ini. Dalam kajian ilmu psikologi, kedokteran, atau kesehatan, “penyakit “ ini disebut dengan gejala demensia atau amnesia. Gejala ini merupakan proses penurunan kemampuan intelektual yang progresif sehingga seseorang mengalami kemunduran fungsi kognitif-nya. Mungkin kalau dicari korelasinya, “penyakit lupa” ini memiliki kaitan dengan ingatan atau memori (saya pernah “menyeruputnya” di salah satu secangkir kopi hitam saya).

Memperhatikan fenomena ini, saya jadi memiliki perspektif (yang pastinya sangat dangkal) kalau di saat sekarang ini banyak sekali orang yang secara tidak sadar membudi-dayakan “penyakit lupa” ini. Kebanyakan dari mereka ini, entah secara sengaja atau tidak, “bersembunyi” di balik fenomena ini. Mungkin kalau melihat kejadian nunun nurbaeti, kita berasumsi kalau nunun menjadikan “penyakit” ini sebagai pengalihan atas dakwaan dirinya sedangkan pada realitanya cukup banyak orang yang melakukan apa yang nunun lakukan dan beberapa dari mereka tidak sadar atas apa yang mereka lakukan ini.

Bagaimanapun “penyakit lupa” ini sangat jauh dari kata baik. Karena pada dasarnya hal ini akan sangat berdampak buruk bagi sistem kerja kognisi (otak) kita dan pastinya akan berpengaruh dalam kehidupan kita. 

 

Senin, 28 November 2011

Untuk semuanya, Terima kasih banyak...

Ya, ini adalah hari pertama saya di umur 27 tahun, yang berarti berkurang lagi kuota saya untuk hidup di dunia ini. Cukup sederhana, hanya makan bersama di rumah namun sangat berkesan karena kali ini semuanya lengkap, Ibu, Kakak, dan adik saya (minus satu. Yah, “orang itu” memang tidak pernah hadir). Iya, tepat tanggal 27 November kemarin, adalah hari saya dilahirkan dua puluh tujuh tahun yang lalu. Bangga? Pasti, mengingat pada tanggal itu, lahir juga salah satu legenda musik blues yang menjadi salah satu dewa gitar di dunia. Gak percaya? Coba baca biografinya Alm. Jimi Hendrix.


Banyak orang bilang kalau di umur saya sekarang inilah seseorang akan menentukan arah tujuan hidupnya kelak, dan hanya ada dua arah pilihan arah yang bisa di tuju. Ya, saya rasa Anda semua tahu apa dua pilihan itu? Bingung? Mungkin Anda bisa memahainya lewat beberapa nama besar seperti Kurt Cobain (Nirvana), Jim Morisson (The Doors), Janis Joplin (Big Brother and The holding Company), Brian Jones (Rolling Stones), atau yang paling terbaru ini, Amy Winehouse dan pastinya nama Jimi Hendrix itu sendiri. Ya, mereka semua “berhenti” (meninggal) di usia 27 tahun.


Banyak hal yang sudah saya jalani sampai dengan usia saya di hari ini, mulai dari saat-saat paling menyakitkan sampai yang menyenangkan dan semua itu saya lewati dengan berbagai situasi dan keadaan yang terkadang gak pernah bisa saya bayangkan.


Mungkin tulisan saya akan sangat panjang dan membosankan untuk dibaca kalau saya harus menceritakan tiap detail kehidupan saya karena jujur, memang terkesan sangat membosankan. Jadi di hari pertama saya menginjak angka 27, saya ingin mengucapkan sebanyak-bayaknya terima kasih kepada kalian semua yang hadir di dalam hidup saya. Saya tidak ingin meminta maaf, karena saya tahu banyak hal yang sulit untuk dimaafkan tapi saya berjanji kepada Anda semua kalau saya akan berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Yah, saya yakin Anda semua tahu peribahasa “paku telah menancap, dicabut ataupun tidak, temboknya tetap berlubang”. Ya kan?


Terlalu panjang daftar yang harus saya sampaikan kalau harus saya tulis satu persatu dari Anda semua tapi yang jelas, rasa terima kasih ini akan terus saya sampaikan pada Anda semua karena telah hadir dan ikut meramaikan hari-hari saya, yang akhirnya, saat ini sampai pada hari ke sepuluh ribu sembilan ratus lima puluh (kalau tidak salah hitung). Sekali lagi terima kasih untuk semuanya, saya merasa bahagia bisa sampai di hari ini bersama kalian semua. Terima kasih...

Kamis, 17 November 2011

Adab Berbahasa

bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”
~Plato~

Secara sederhana, banyak orang sering mengartikan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan maksud dan tujuan atau juga sekumpulan kata yang digunakan sebagai penjelasan atas keinginan. Saya sering kali mempertanyakan masalah penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia. Beberapa orang yang mengatakan kalau bahasa Indonesia itu jauh lebih rumit atau dalam istilah yang lebih moderen disebut “ribet”. Menurut mereka, bahasa Indonesia terkesan diperhalus dan cenderung tidak tepat sasaran (muter-muter) sehingga memiliki banyak nilai ambiguitas di dalam pemahamannya. Sebagai contoh, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pembanding. Misalnya penyebutan “bulan" dalam bahasa Inggris yang menyebut “bulan” yang ada di langit dengan moon dan “bulan” yang ada di kalender disebut dengan month, sedangkan dalam bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan penyebutan antara “bulan” di langit dengan “bulan” yang ada di kalender. 
 
Mungkin ada benarnya kalau sebagian besar orang ini berpendapat demikian karena jika saya perhatikan, tentu akan muncul kebingungan dalam penggunaan kaedah bahasa Indonesia itu sendiri. Bagaimana kita harus menjawab ketika seseorang bertanya pada kita, “ini bulan apa ya?” melalui telepon (yang berarti kita tidak melihat apakah orang tersebut sedang melihat langit atau kalender), apakah kita harus menjawab Januari, Febuari? Atau kita harus menjawab purnama?

Tapi yang cukup mengganggu buat saya adalah adanya krisis penggunaan bahasa Indonesia dalam cara membaca dan penyebutannya (saya sering menyebutnya dengan “membunyikan huruf”). Coba saja Anda perhatikan bagaimana diri Anda menyebut merk (orang bule menyebutnya dengan brand atau signboard), apakah Anda menyebutnya sesuai dengan tulisannya, merk? Atau anda menyebutnya dengan merek? Saya lebih suka menyebutnya dengan merk karena jika saya menyebutnya dengan merek maka akan muncul persepsi bahwa saya sedang membicarakan WTS (mohon maaf, Wanita Tuna Susila).
Mungkin sebagian orang akan menyebut saya terlalu kritis dan sebagian lainnya akan mengkerutkan dahinya sambil memicingkan mata (penyebutan dalam istilah moderennya, krik-krik) karena dalam anggapan mereka dan kebanyakan orang, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu ditanggapi secara berlebihan (yang dalam penyebutan lebih moderennya, sepele). 

“kan yang penting, orang tau maksudnya! Masa kayak gitu aja mesti ribet? Anak SD juga tau kali!”, begitu yang seringnya orang bilang tiap saya tanyakan mengenai hal ini. Dan saya teringat pada salah satu keponakan saya yang masih duduk di kelas 4 SD, bertanya dengan polosnya (maaf, maksudnya bukan polos “tanpa busana”) kepada Ibu saya tentang berita di koran yang baru saja di bacanya. “Nek.. Nek, kok “Bapak” ini ditangkap polisi? Kan dia baik mau “nidurin” anaknya?” dan sontak Ibu saya langsung mengambil koran yang sedang di baca keponakan saya itu, sambil mengalihkan perhatiannnya dengan pertanyaan seputar pelajaran sekolahnya (dan saya menggelengkan kepala sambil ketawa begitu membaca berita di koran tersebut, Akibat Meniduri Anak Kandungnya, Seorang Bapak Dihukum Lima Tahun Penjara).

Entah apa karena perkembangan zaman yang telah banyak menyentuh kemajuan teknologi (dimana komunikasi cenderung lebih diaktualisasikan lewat kecanggihan mesin atau “robot”) sehingga penanaman nilai serta kaedah dari bahasa itu sendiri mulai pudar secara perlahan. Dan ketika peradaban moderen telah benar-benar mengenyampingkan kaedah bahasa maka mungkin akan semakin muncul kebingungan dan ambiguitas dalam adab berkomunikasi antar manusia. 

 

Selasa, 15 November 2011

Peradaban yang Beradab ?


Kemarin salah satu sahabat saya men-share salah satu tulisannya yang berisi pandangan dan pemikirannya kepada saya. Jujur, saya merasa beruntung karena ternyata sahabat saya itu belum pernah membagi tulisannya itu dengan orang lain disamping isi tulisannya yang mampu menggelitik isi pikiran setiap orang yang membacanya, termasuk juga saya.

Dalam tulisannya itu, dia berbicara mengenai “adab hidup” yang ada di tatanan masyarakat kita sekarang ini. Mulai dari pergeseran nilai-nilai yang dianggap sudah kadaluarsa padahal kalau dikaji lebih mendalam, nilai-nilai tersebut jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam peradaban moderen seperti sekarang ini. Dalam tulisannya itu, saya mengutip sebuah paragraf yang menurut saya cukup memprovokasi keseluruhan isi kepala saya,

“Menurut saya kalau akhirnya manusia bisa menemukan bahan bakar gas dari kentutnya sendiri, maka pada mulanya akan muncul banyak milyuner baru, kemudian para milyuner tersebut harus rela berbagi dan menurunkan derajatnya menjadi jutawan bersama dengan para tukang kentut yang akhirnya sadar kalau kentut mereka laku dijual...” ~Adab Hidup, Sandi Wiradinata~



Dari kutipannya ini, saya mencoba memahami beberapa hal mendasar tentang peradaban dan manusia itu sendiri. Sejak Nabi Adam turun ke dunia sampai sekarang ini, begitu banyak proses kehidupan yang berkembang, mulai dari perkembangbiakan atau evolusi manusia, proses pola pikir dan konsep-konsep kehidupan, hingga penemuan berupa realisasi dari ide dan konsep itu sendiri. Tentunya masih saya ingat bagaimana kontroversi yang muncul ketika Charles Darwin mengatakan bahwa kita (manusia) itu berawal dari primata dan yang saya tahu dan yakin dengan pasti, Tuhan menciptakan Adam itu sebagai manusia, bukan monyet.

Saya pernah, mungkin sering coba mengkaji konsep-konsep tentang tatanan kehidupan yang berkembang pada peradaban moderen sekarang ini. Hampir semua aspek dan elemen dari kehidupan masyarakat yang ada sekarang ini bersentuhan dengan apa yang disebut dengan teknologi atau saya sering menyebutnya dengan zaman serba-canggih. Lihat saja yang terjadi di lingkungan sekitar kita dimana internet sudah menjadi komoditi utama dalam segala aspek, contohnya di lingkungan pendidikan. Cukup dengan search engine atau mesin pencari (istilah kerennya googling) anak-anak sekolah dasar bisa mempelajari apa itu rumus phytagoras yang berarti beberapa tahun ke depan kebutuhan akan tenaga pengajar akan semakin berkurang, yang dengan kata lain angka penggangguran di Indonesia terus bertambah. Hebat bukan?

Mungkin terlalu rumit jika hanya berdasarkan isi pikiran saya yang bisa jadi salah ini karena pada kenyataannya, saya termasuk di dalam peradaban itu sendiri, begitu juga Anda semua. Mungkin perlu adanya nilai, ide dan konsep-konsep yang dapat mengembalikan peradaban pada sisi manusiawi dari manusia yang termasuk di dalam peradaban itu sendiri.

Ya. Semoga pandangan saya ini tidaklah terlalu menimbulkan kekhawatiran atau memprovokasi Anda secara berlebihan, tapi jika Anda bisa melihat dan membaca kekhawatiran saya ini secara bijaksana maka saya rasa akan ada rasa kemanusiaan diantara kita sebagai manusia.







Jumat, 11 November 2011

Seberapa Sering Sih Kita Absen Dari Kehidupan?


Hari ini supervisor GA (General Affair) kantor gak masuk dan itu berarti satu hari kerja tanpa penerapan aturan. Gak ada yang nanya si A kemana? Si B kenapa absen? dan pertanyaan serta bla bla bla lainnya yang secara garis besar cuma perihal absen atau ketidakhadiran. Senang? Pastilah, mengingat gak ada orang yang biasanya nanya, “tadi absennya telat ya? Makanya, jangan begadang..bla bla bla”. Tapi jujur ada yang tiba-tiba jadi ganjalan di pikiran saya, kenapa ya absensi atau ketidakhadiran itu bisa menjadi sesuatu yang sangat crusial? Sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh, saya coba memahami perihal absensi ini.

Terkadang saya mikir, ketika saya benar-benar absen untuk masuk kerja, pasti HRD ataupun GA kantor tempat saya kerja sibuk mencari tahu keberadaan dan keadaan saya. Kenapa saya absen? Apa saya sakit? Kalau saya sakit, bagaimana keadaanya? Dirawat atau hanya istirahat di rumah? Dan bermacam-macam pertanyaan penuh rasa empati tapi kesannya curigaan. Sikap seperti ini seakan-akan menunjukan bahwa mereka sangat mengharapkan kehadiran kita dan gak mau kalau kita pergi sedangkan keadaan memang mengharuskan kita absen, entah itu karena kita sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau karena kurang mendapat apresiasi dari tempat kita bekerja sekarang ini. Cukup aneh gak sih?

Kita sering banget mengeluh soal si bos yang tidak pernah memberikan apresisai yang setimpal atas loyalitas kita yang tidak pernah absen untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan tapi dari persepsi saya yang dangkal ini, saya mencoba mengembangkan pemikiran lebih luas. Pada kenyataannya, kita sering kali harus absen dari berbagai dinamika dan realita kehidupan yang sedang kita jalani. Coba aja kita ingat, seberapa sering kita absen untuk sekedar menemani Ibu minum teh di sore hari hanya karena ingin refreshing di hari libur kerja? Seberapa sering kita absen untuk mendengar cerita anak-anak kita sewaktu di sekolah tadi hanya karena ada lemburan yang harus kita kerjakan? Seberapa sering kita absen untuk mendengar keluh kesah istri yang ingin bermanja-manja kangen? dan kita menanggapinya hanya dengan, “sudah ya, Ayah cape”.

Mungkin seperti terlalu mendramatisir keadaan atau pemikiran, tapi coba kita pikirkan lagi baik-baik perihal absensi ini. Coba kita lihat dan bandingkan, seberapa banyak absen yang kita buat dalam hidup ini? Seberapa sering kita absen dalam pekerjaan kita yang bernama “kehidupan”?






Rabu, 09 November 2011

Secangkir kopi Hitam & Ciuman Pertama kamu..

Jam sepuluh malam, di teras rumah. Saya dan secangkir kopi hitam beserta beberapa teman masa kecil terlihat begitu seru dengan forum “anak komplek” kali ini, mereka membahas soal siapa dan seperti apaciuman pertama” mereka masing-masing dan itu cukup menggelikan, setidaknya bagi saya malam itu..., secangkir kopi hitam dan “ciuman pertama.



Ciuman pertama. Seberapa orang yang masih mengingat secara detail peristiwa tersebut? Hmm..., banyak orang mengingat ciuman pertama mereka sebagai momen terindah yang gak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Ciuman pertama adalah ketika untuk pertama kalinya seseorang mencium bibir pasangannya atau orang lain dan kebanyakan orang mengalami bermacam perasaan saat mereka mencium atau mendapat ciuman pertama, mulai dari canggung, aneh, sampai dengan perasaan bahagia. Ciuman pertama itu sangat memorable, kebanyakan orang masih mengingat siapa ciuman pertama mereka meski mungkin mereka tidak bisa mengingat keseluruhan seperti apa ciuman pertama mereka.



Ciuman pertama identik dengan “pacar pertama”, iya kan? Tapi pada kenyataannya banyak juga orang yang memberikan atau mendapatkan ciuman pertama justru bukan dari pasangannya, melainkan dari orang lain, misalnya kalau pernah dengar atau mungkin merasakan seperti apa rasanya dicium atau mencium sahabat sendiri. Atau juga dengan orang asing yang baru satu-dua jam sewaktu clubbing. Tapi yang paling crusial itu ciuman pertama sama pacar, tunangan, atau bahkan suami-istri teman sendiri dan pastinya yang satu ini bukan cuma mendebarkan, tapi juga menakutkan bukan?



Nah, kalau boleh berbagi, apa sih arti “ciuman pertama” buat kamu semua? Bukan ingin mengungkit atau membuat kamu mengingat kembali memori tentang pacar atau mantan-mantan kamu terdahulu, tapi hanya ingin sekedar berbagi pandangan mengenai apa, siapa, atau seperti apaciuman pertama” kamu melalui tulisan saya ini. Share pandangan, pendapat, dan pengalaman kamu semua di box Postkan Komentar di bawah ini tentang “ciuman pertama” kamu.. 




 

Rabu, 02 November 2011

Kenapa sih mereka pilih bercerai?

“Menikah itu wajib hukumnya, kalau sudah sanggup”, itulah pernyataan pernah yang saya dapat dari beberapa orang terdekat saya yang telah menjalani kehidupan pernikahan. Mereka banyak memberi saya pandangan secara “audio” maupun “visual” mengenai apa yang disebut dengan pernikahan. Menurut mereka, pada akhirnya setiap orang pada akhirnya akan menikah, mau itu dengan orang yang mereka inginkan atau pun dengan orang pilihan orang tuanya. Tapi yang agak susah untuk saya pahami adalah ketika saya bertanya, “kalau emang pada setiap orang akhirnya harus menikah, kenapa banyak banget pasangan menikah yang berakhir dengan perceraian?” lalu mereka menjawab sekenanya, “ya berarti gak jodoh” dan mendadak dahi saya penuh dengan kerut.



Saya “seruput” secangkir kopi hitam sambil memikirkan persoalan pernikahan yang membuat kepala saya ini jadi terasa “penuh dengan lebah”. Kalau saya lihat pada kenyataan yang ada, setiap hari ada saja pasangan yang saling mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan dan berakhir dengan kata cerai. Dimulai dari dua orang yang saling mencintai dan ingin bersumpah sehidup-semati, hidup bersama baik dalam keadaan senang maupun susah dan mereka menikah. Pada awal pernikahan semua tampak berjalan dengan sangat mulus maka terpikir untuk membuat beberapa rencana, memiliki momongan, menabung untuk cicilan rumah, dan bla bla bla. Pada tahun-tahun berikutnya beberapa rencana sudah terlaksana, anak yang lucu serta rumah yang nyaman dan pelan-pelan mulai muncul percekcokan kecil, mulai dari peran suami yang mencari nafkah dan istri mengurus anak, yang mana pada masa ini ego mulai mengambil alih kesadaran mereka sebagai sepasang suami-istri dan orang tua. Sampai ke permasalahan nafkah, baik lahir maupun bathin. Suami yang mati-matian bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya sampai kehabisan waktu dan tenaga untuk memenuhi “tanggung jawab”nya sebagai suami terhadap istri, sehingga kecurigaan sang istri kalau suaminya diam-diam memiliki “tanggungan” lain di luar rumah.



Yang cukup menggelikan buat saya adalah kebanyakan dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan pernikahan itu hanyalah masalah kecil yang sering kali dibesar-besarkan hanya karena ego dari masing-masing pasangan yang akhirnya menciptakan pikiran-pikiran negatif dalam diri mereka masing-masing. Banyak sekali pertengkaran dalam pernikahan bermula dari persepsi dangkal yang justru berawal dari dalam diri masing-masing.



Seandainya setiap pasangan saling memahami kondisi dan keadaan dari pasangannya, tentunya keharmonisan dalam pernikahan akan jauh lebih mudah untuk diwujudkan. Bukankah akan lebih memberikan kebaikan bagi setiap pasangan yang sudah atau mau menikah? Ya, meskipun pastinya hal ini akan membawa keburukan bagi para pengacara perceraian.



Bagaimana menurut Anda semua setelah membaca tulisan saya yang sepertinya “gak penting” ini? Ada yang punya pendapat yang lebih “gak penting” dari pendapat saya ini? 

  

Jumat, 21 Oktober 2011

Sebab KAU Ada...

Sebanyak apapun penyesalan yang aku ucap hari ini, pastinya tidak dapat menggantikan setiap doa yang KAU ucap untukku. Sebanyak apapun kata maaf yang aku tulis hari ini, tentunya tidak akan bisa membayar tiap rintik yang jatuh dari kedua mataMU. Sekeras apapun perjuangan yang aku buat hari ini, jelas tidak akan pernah sebanding dengan tetes peluh yang mengalir di keningMU.
.......


Dan hari ini, aku ingin KAU mengetahui semuanya...

bahwa KAU adalah dunia, tempat aku bernaung dari panas juga hujan,

bahwa KAU adalah rumah, tempat aku berlindung dari siang juga malam,

bahwa KAU adalah daratan, dimana aku dapat berpijak tanpa harus terguncang,

bahwa KAU adalah lautan, dimana aku dapat berlayar tanpa takut hilang arah,

bahwa KAU adalah udara, ketika nafas mulai terasa sesak dan pengap,

bahwa KAU adalah taman bunga, ketika aku merindukan wangi aster dan tarian kupu-kupu,


..........
Sebab KAU meniupkan kehidupan tiap kali aku menghela nafas,

sebab KAU menyisipkan kehangatan tiap kali aku datang memeluk,

sebab KAU ada, maka aku terasa nyata...







*Sebab seorang IBU bagaikan TUHAN di mata anaknya

Sabtu, 17 September 2011

Bersyukur??

Bersyukur. Banyak orang mempertanyakan arti dari kata “bersyukur” ini. Sebagian besar beranggapan bahwa bersyukur itu sebagai rasa bahagia yang diungkapkan dengan cara berterima kasih atas kebahagiaan yang mereka dapatkan. Sebagian lagi berpendapat kalau bersyukur itu adalah rasa bahagia yang direalisasikan dengan cara menikmati semua hal yang telah diberikan oleh Tuhan maupun seseorang. Mereka ini berpendapat bahwa rasa syukur itu baru dapat dirasakan di saat mereka telah berhasil mencapai hasil dari kerja keras mereka selama ini. Kebanyakan dari mereka berpikir kalau untuk bisa bersyukur, mereka harus terlebih dahulu bahagia dan untuk mendapatkan kebahagiaan, mereka harus bekerja sangat keras dan mengorbankan banyak hal dalam hidup mereka.

Saya pernah membaca cerita yang ditulis oleh Ajahn Brahm dalam salah satu bukunya, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya yang menurut saya bisa menggambarkan tentang apa itu “bersyukur”.



Di sebuah desa nelayan Meksiko yang tenteram, seorang Amerika yang sedang berlibur mengamati seorang nelayan setempat yang baru saja pulang melaut pada pagi hari. Si Amerika adalah seorang profesor sukses di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat dan ia tidak tahan untuk memberikan sedikit “kuliah” gratis kepada si nelayan Meksiko.

“Hai!”, sapa si Amerika. “Mengapa pagi-pagi sudah pulang dari melaut?”

“Karena saya sudah mendapat cukup ikan, Senor”, jawab si nelayan Meksiko itu ramah. “Cukup untuk memberi makan keluarga saya dan sedikit kelebihannya untuk dijual. Dan sekarang saya akan makan siang bersama istri dan, setelah tidur siang sejenak, saya akan bermain-main bersama anak-anak saya. Lalu setelah makan malam, saya akan pergi ke kedai, menengguk sedikit tequila dan bermain gitar bersama teman-teman saya. Itu cukup untuk saya, Senor.”

Dengarkan saya, kawan”, ujar si profesor bisnis Amerika. “Jika kamu tetap melaut sampai larut sore, dengan mudah kamu akan mendapatkan tangkapan dua kali lipat. Kamu dapat menjual kelebihannya, menabung uangnya, dan dalam waktu enam bulan atau sembilan bulan, kamu akan mampu membeli perahu yang lebih bagus dan lebih besar dan menggaji beberapa awak. Kemudian kamu akan mampu menangkap ikan empat kali lebih banyak. Pikirkanlah berapa banyak tambahan uang yang kamu dapatkan! Dalam satu atau dua tahun, kamu akan punya modal untuk membeli perahu dan menggaji beberapa awak lagi. Jika kamu mengikuti perencanaan bisnis ini, dalam waktu enam atau tujuh tahun kamu akan bangga menjadi pemilik sebuah armada penangkapan ikan yang besar. Lalu kamu sebaikna memindahkan kantor pusatmu ke Mexico City atau bahkan ke L.A. Setelah tiga atau empat tahun di L.A, perusahaanmu bisa go public dan menjadikanmu CEO dengan penghasilan serta hak pembagian saham yang istimewa. Dalam beberapa tahun, kamu akan menjadi multi-jutawan! Dijamin! Saya ini profesor terkenal dari sebuah sekolah bisnis di Amerika. Saya tahu soal-soal beginian!”

Si nelayan Meksiko mendengarkan dengan khusyuk apa yang dikatakan oleh profesor Amerika itu dengan menggebu-gebu. Ketika si profesor Amerika selesai bicara, si Meksiko bertanya, “Tetapi, Senor Profesor, apa yang bisa saya lakukan dengan jutaan dolar itu?”

Yang mengejutkan, si profesor Amerika belum memikirkan rencana bisnisnya sejauh itu. Jadi, dengan segera dia mereka-reka apa yang bisa dilakukan dengan jutaan dolarnya.

Amigo! Dengan semua duit itu, kamu bisa pensiun. Ya! Pensiun seumur hidup. Kamu bisa membeli sebuah vila kecil di sebuah desa nelayan yang indah seperti ini, dan membeli sebuah perahu kecil untuk pergi memancing pada pagi hari. Setiap hari kamu bisa makan siang bersama istrimu dan tidur siang sejenak setelahnya, tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Pada sore hari kamu dapat melewatkan saat-saat berkualitas bersama anak-anakmu. Dan setelah makan malam, kamu bisa bermain gitar bersama teman-temanmu, menggak tequila. Ya, dengan semua itu kamu bisa pensiun dan hidup senang!”

Tetapi, Senor Profesor, kan sekarang ini saya sudah begitu?”, tanya si nelayan Meksiko kebingungan.


Nah, menurut Anda, ap itu “bersyukur” ?

Selasa, 23 Agustus 2011

KASIH UNTUK ARRA...

Zahra Alethea Cetta

Elshinta Multidesi (27 tahun) dan Dadang Eryanto (27 tahun) tidak pernah menyangka gadis kecilnya Zahra Alethea Cetta (Arra, 15 bulan) menderita penyakit serius. Kegelisahan mereka memang dimulai ketika Arra masih bayi. Sejak usia 4 bulan, Arra mudah sekali tertular batuk & pilek. Daya tahan tubuhnya sangat lemah. Awalnya, Elshinta masih melihat hal tersebut sebagai hal yang wajar, karena itu ia memilih untuk membawa anaknya ke bidan saja. Tetapi semakin lama ia semakin khawatir dan memutuskan untuk membawa Arra ke puskesmas terdekat. Saat itu dokter puskesmas menyebutkan Arra mengalami wheezing dan dirujuk untuk terapi inhalasi.

Setelah tiga kali melakukan terapi inhalasi, tidak ada perubahan yang terjadi, termasuk berat badan Arra yang sulit sekali bertambah walaupun nafsu makannya cukup baik. Elshinta pun membawa Arra ke sebuah klinik untuk konsultasi dengan dokter umum. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter umum menyimpulkan bahwa Arra kemungkinan memiliki kelainan jantung. Tentu tidak sulit membayangkan bagaimana perasaan Elshinta dan Dadang saat itu. Tapi kesedihan tidak bisa membawa kesembuhan bagi anaknya. Sesuai rujukan dokter umum, mereka pun menemui dokter spesialis anak (DSA) di sebuah rumah sakit swasta.

DSA tersebut mewajibkan terapi inhalasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan dilakukan. Pasca pemeriksaan dengan stetoskop, kesimpulan DSA ini menguatkan dugaan dokter umum sebelumnya, Arra memiliki kelainan jantung bawaan.

Karena keterbatasan yang dimiliki rumah sakit swasta tersebut, Arra harus dirujuk ke dokter di rumah sakit lain. Namun ternyata dokter yang dirujuk sudah tidak bekerja di rumah sakit yang ditunjuk. Mau tidak mau, Elshinta harus mencari rumah sakit lain yang dapat memeriksa Arra. Mereka sempat membawa Arra ke rumah sakit di daerah Pulomas. Tetapi kemudian pihak RS juga mengaku tidak memiliki kelengkapan alat dan fasilitas untuk memeriksa Arra. Akhirnya Arra pun dibawa ke rumah sakit jantung Harapan Kita di daerah Jakarta Barat.

Pemeriksaaan awal berupa Rontgen dan EKG pun dilakukan. Dokter juga menanyakan kondisi saat Elshinta mengandung Arra. Hasilnya, dokter memberi surat rujukan untuk melakukan tes Echocardiography. Dan kembali, hasil test menguatkan dugaan sebelumnya, Arra dinyatakan positif memiliki kelainan jantung bawaan PDA (Patent Ducthus Arteriosus) dan VSD (Ventrical Septal Defect). Terdapat lubang sebesar 5mm pada PDA dan 3mm pada VSD. Dokter pun meresepkan obat, tidak kurang dari 150 buah obat berbentuk puyer yang harus ditelan Arra saat itu.

Setelah 3 minggu, Arra diharuskan melakukan tes Echocardiography kembali untuk melihat bagaimana kondisi lubang pada jantungnya pasca treatment obat.

Waktu pun berlalu, Arra menjalani tes Echocardiography yang kedua. Dan dari hasil tes tersebut ternyata lubang PDA Arra hanya mengecil 1mm, sedangkan lubang VSD nya tidak mengalami perubahan. Dengan kondisi seperti ini, dokter menyarankan untuk dilakukan operasi guna menutup kedua lubang tersebut. Vonis yang meruntuhkan hati Elshinta dan Dadang, mengingat Arra masih begitu kecil. Yang kemudian tidak kalah merisaukan adalah biayanya yang mencapai 100 juta rupiah. Angka yang sangat fantastis bagi seorang karyawan gudang penyimpanan barang dengan penghasilan tak lebih dari 2 juta per bulan, seperti Dadang.

Sementara, Arra tidak bisa menunggu lama, jika tidak segera dioperasi dokter menjelaskan, akan berdampak buruk juga bagi paru-paru Arra. Darah yang bocor dari jantung akan bercampur dengan darah kotor dan langsung masuk ke paru-paru, hal ini menyebabkan paru-paru Arra harus bekerja ekstra keras untuk bernafas.

Dadang dan Elshinta tentu tak tinggal diam. Mereka tak punya pilihan, harus segera mencari bantuan biaya. Sebuah titik terang datang dari Yayasan Jantung Indonesia (YJI). YJI memberikan bantuan sebagian biaya operasi. Sebuah bantuan besar ditengah kegalauan Dadang dan Elshinta, tapi toh perjuangan belum selesai. Obat-obatan dan perawatan yang tidak di-cover YJI, serta sisa biaya operasi masih menjadi beban pikiran. Kira-kira Dadang dan Elshinta masih harus mengumpulkan uang sebesar 30 juta rupiah sebelum dapat mengoperasi Arra.

Kini pihak rumah sakit telah mengabarkan bahwa operasi untuk Arra telah dijadwalkan pada 8 september bulan depan. Dokter yang menangani Arra memperkirakan jika tidak ada kendala maka Arra hanya harus dirawat pasca-operasi selama 2 sampai 3 hari. Namun, jika terjadi masalah, kemungkinan Arra harus di rawat lebih dari 2 minggu. Hal ini tentu saja menjadi buah pikiran, karena tak kurang dari biaya sebesar 3,5 juta per hari yang harus dikeluarkan untuk biaya perawatan di ruang ICU.

Jika teman-teman (siapa pun, baik yang mengenal baik keluarga Elshinta ataupun tidak) yang berkenan membantu Arra agar operasinya dapat terlaksana, bantuan dapat disumbangkan ke Rek BCA atas nama Elshinta Multidesi di nomor rekening 6330507991, Rek CIMB Niaga atas nama Elshinta Multidesi di nomor rekening 367-01-00008-16-8, dan Rek Mandiri atas nama Dadang Eryanto di nomor rekening 125-00-1053023-6. Elshinta Multidesi dapat dikontak langsung di no 021-98804491. Mereka beralamat di Jl. Taman Malaka Utara 7 blok D12 no.3 Rt.07 Rw.009. Malaka Sari. Jakarta Timur.


Dadang Eryanto - Elshinta Multidesi beserta Arra

Rabu, 17 Agustus 2011

Menyakitkan Bukan Berarti Harus Dilupakan...

“How happy is the blameless vestal's lot! The world forgetting, by the world forgot. Eternal sunshine of the spotless mind! Each prayer accepted, and each wish resigned”
~Alexander Pop, “Eternal Sunshine Of The Spotless Mind”~

Apa pernah Anda berusaha untuk melupakan sesuatu atau seseorang dalam kehidupan Anda? Atau mungkin Anda berusaha untuk menghapus bagian-bagian tertentu dari ingatan Anda? Pada kenyataannya, cukup banyak orang yang berusaha untuk melakukannya dan mungkin kita adalah salah satu dari mereka. 

Jika kita berbicara tentang ingatan atau memori, maka secara tidak langsung kita berbicara tentang aspek kognitif atau sistem kerja otak. Sewaktu saya masih bergelut di lingkungan perguruan tinggi, saya mempelajari tentang apa yang disebut dengan memori. Ingatan atau memori adalah suatu fungsi dari kognisi yang melibatkan otak dalam pengambilan informasi. Hal ini banyak dikaji dalam pemahaman psikologi kognitif serta ilmu saraf. Dalam pemahaman ilmu psikologi, memori terbagi atas dua bagian, memori jangka panjang (Long-Term Memory) dan memori jangka pendek (Short-Term Memory).

Memori jangka pendek biasanya tersimpan lebih lama di dalam otak. Memori ini biasanya berisi segala sesuatu yang kita sadari pada saat ini, mulai dari nomor telepon  atau alamat rumah orang-orang terdekat kita (orang tua, sahabat, pacar). Sedangkan memori jangka panjang berisi semua informasi yang berada di alam bawah sadar kita dan akan berguna untuk masa mendatang. Biasanya memori ini diisi oleh informasi yang sewaktu-waktu bisa kita panggil (recall), misalnya raut muka, kebiasaan, perilaku-perilaku dari orang-orang dan kejadian di masa lalu, mulai dari mantan pacar, teman sekolah, sampai urusan CLBK, “Cinta Lama Belom Kelar”.
Ketika kita berusaha untuk menghapus bagian-bagian tertentu dari memori kita, sebenarnya kita cenderung hanya ingin melupakan serangkaian informasi yang tidak menyenangkan kita. Biasanya bagian ini berkisar tentang romatika percintaan, mulai dari putus cinta, perselingkuhan, sampai urusan “ditikam” sahabat.
Pada dasarnya, apapun namanya, memori merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, baik jangka panjang maupun jangka pendek karena jika diibaratkan Artificial Intelligence, otak adalah seperangkat PC atau komputer. Saat di dalam komputer Anda terdapat virus yang menghinggapi salah satu file Anda, maka Anda akan melakukan scanning atau healing dan ketika Anda melakukannya sudah dipastikan file tersebut juga akan ikut menghilang, yang berarti Anda kehilangan salah satu data penting dalam komputer Anda (karena Anda hanya akan menyimpan data-data yang penting di dalam komputer Anda).
Jika kita merujuk pada analogi tersebut maka Anda akan memahami bahwa data atau “file” yang ada dalam otak merupakan hal-hal penting bagi Anda. Istilah “virus” di sini bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Maksud virus di sini adalah ketika Anda merasa bahwa pengalaman atau “file” yang Anda miliki adalah hal yang tidak menyenangkan Anda. Padahal kalau kita mau belajar untuk “berdamai dengan diri sendiri”, maka tidak akan ada hal yang benar-benar menyakiti kita, karena kita selalu bisa mengambil hikmah atau nilai dari pengalaman hidup Anda.

Bukan maksud saya untuk menjadi yang “paling tahu”, tapi coba kita pikir bersama-sama, ketika kita berusaha melupakan sesuatu atau sesorang yang pernah membuat kita tersakiti, secara tidak sadar kita juga melupakan kalau sesuatu atau seseorang itu juga pernah membuat kita merasa senang. Mungkin pacar atau mantan-mantan pacar Anda telah melakukan banyak kesalahan, namun bukan berarti Anda menjadi lupa kalau banyak juga hal yang telah mereka lakukan untuk membuat Anda merasa senang. Akan lebih bijak jika satu kesalahan seseorang tidak menutupi beberapa kebaikan yang telah dilakukan oleh seseorang itu bagi Anda.   

Jadi, seberapapun menyakitkannya sesuatu yang pernah dilakukan sesorang pada Anda tidak akan membuat Anda harus melupakannya karena bagaimanapun masih ada hal-hal yang pernah mereka lakukan dan itu membuat Anda merasa senang dan bahagia. Sebab bisa jadi ketika Anda berusaha melupakannya, maka hal-hal yang menyenangkan dalam hidup Anda juga akan ikut menghilang.

Rabu, 29 Juni 2011

Susah Jadi Orang Baik..., Setuju ?

Pernahkah Anda merasa kalau menjadi orang baik itu tidak menyenangkan? Atau mungkin Anda sering bertanya-tanya, Kenapa sih susah banget jadi orang baik ? Kenapa sih orang baik selalu ditindas ? Anda mungkin pernah melihat atau merasakan langsung, ketika seseorang yang tiba-tiba melakukan suatu kebaikan justru mendapatkan reaksi yang negatif dari lingkungan sekitarnya dan pada akhirnya Anda mengambil sebuah kesimpulan kalau ternyata menjadi orang baik itu tidak menyenangkan.

Baru-baru ini, saya mendapat referensi sebuah buku dari teman sekantor. Sebuah buku yang ternyata memberikan saya banyak sekali pemahaman baru. Sebuah bacaan yang memberi nuansa baru saat saya menikmati Secangkir Kopi Hitam ini. Kumpulan catatan pengalaman dan petuah-petuah bijak yang membuat saya menertawakan diri sendiri. Sebuah karya dari seorang biksu terkenal bernama Ahjan Bhram, berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Dari sekian banyak pemahaman yang disampaikan buku ini, ada satu cerita yang cukup menggelikan mengenai sulitnya menjadi orang baik.

Dahulu kala, ada seekor ular jahat yang hidup di hutan sekitar kaki gunung. Ia menggigit dan memakan apa saja sehingga ia tidak hanya ditakuti di penduduk sekitar, tapi juga oleh kalangan ular yang hidup di hutan. Sudah banyak korban berjatuhan dan tidak ada satupun hal yang dapat menghentikan kejahatannya.

Seiring berjalan wkatu, si ular jahat semakin bertambah tua. Rupanya menjelang hari tuanya, ia mulai merasa jenuh dan bosan berbuat jahat. Si ular jahat ini ingin sekali bertobat dan menghentikan semua kejahatannya. Ia pergi ke atas gunung, konon di sana ada seekor ular suci yang sangat terkenal belas kasihnya dan sering memberikan ceramah kepada para ular yang ingin bertobat. Agar ular jahat tidak dikenali, ia melakukan penyamaran saat pergi ke kuil ular suci yang ada si atas gunung. Ia memakai jaket tebal, kacamata hitam dan tak lupa topi agar ia semain sulit dikenali.

Sesampainya di kuil, sang ular suci sedang memberikan ceramah kepada para ular yang ingin bertobat. Si ular jahat mendengarkan sambil bersembunyi di atas pohon agar ular-ular lain tidak panik dan ketakutan melihat kehadirannya di kuil itu. Setelah sang ular suci selesai memberikan ceramah dan ular-ular lain pergi meninggalkan kuil, baru si ular jahat turun menghampiri sang ular suci sambil menangis tersedu-sedu. “wahai ular suci, aku ingin sekali bertobat. Aku ingin menghentikan semua kejahatanku. Aku mengaku telah melakukan kesalahan, tolong bantu aku. Sang ular suci berusaha menenangkannya dan meyuruhnya untuk tidak menggigit dan memakan mahluk hidup lagi. Setelah mendapat ketenangan, si ular jahat kembali pulang ke kaki gunung untuk melanjutkan hidupnya dan berjanji untuk bertobat sungguh-sungguh.

Melihat perubahan yang terjadi pada ular jahat, para penduduk tidak lagi takut akan kehadiran si ular jahat tersebut. Para penduduk mulai berani untuk berjalan di depan ular jahat tersebut. Bahkan banyak anak kecil yang mulai berani meledek si ular jahat tersebut. “hei dasar, mahluk melata yang jelek. Sudah tidak berani untuk menggigit dan memakan kami ya ?”, begitu teriak anak-anak kecil itu sembari melempari ular jahat itu dengan batu. Tapi karena kesungguhan niat untuk menjadi baik, si ular jahat hanya diam dan tidak melawan sedikit pun. Bahkan ketika anak-anak kecil itu memukulinya dengan batang kayu, ia hanya diam dan menerima semua perlakuan mereka itu tanpa membalas ataupun mengeluarkan desis meski hanya untuk menakuti mereka semua.

Ular jahat kesakitan, tidak hanya badannya, namun juga hatinya. Ia merasa bahwa orang-orang memanfaatkan kesempatan bertobatnya untuk menyakitinya. Dengan badan penuh luka dan babak belur, ia berjalan menghampiri kuil ular suci dan meminta pertanggung jawaban karena ia merasa si ular suci telah memberinya saran yang justru membuatnya menderita.

Sang ular suci terkejut melihat kedatangan ular jahat yang sudah babak belur. “Apa yang terjadi denganmu hingga babak belur seperti ini ? “, Tanya ular suci kepada ular jahat. “Ini semua karena saranmu. Mereka semua memanfaatkan petobatanku untuk membalas menyakitiku. Aku dipukuli tanpa memberikan perlawanan sedikit pun pada mereka hingga akhirnya aku babak belur begini. Maaf ular suci, sepertinya kebaikan hanya berlaku di dalam kuil tapi tidak dalam kehidupan nyata.”, begitu teriak si ular jahat. Mendengar pengaduannya, si ular suci hanya tertawa seraya berkata, “ Dasar mahluk melata yang dungu. Aku melarangmu untuk menggigit, memakan, dan menyakiti mereka semua tapi aku tidak menyuruhmu untuk berhenti berdesis.”.

Sabtu, 18 Juni 2011

Secangkir Kopi Hitam : sesuatu yang baru dan berbeda...

Wah, baru sadar, Secangkir Kopi Hitam saya mulai dingin. Sepertinya sudah terlalu lama saya biarkan diam di atas meja. Ya, sejak bekerja di tempat yang sekarang ini, saya jadi jarang sekali memperhatikan meja kamar saya yang berantakan dan penuh dengan cangkir-cangkir kopi hitam dan saya tidak melihat kalau ternyata masih ada secangkir kopi hitam yang belum saya “seruput” kenikmatannya.

Ya, sudah hampir tiga bulan saya bekerja di tempat yang baru ini. Banyak hal-hal baru yang saya dapatkan di sini. Lingkungan baru, suasana baru, teman baru, dan yang pastinya divisi dan job desk yang benar-benar baru, SEO (Search Engine Optimize). Sebagai buruh rendahan dengan latar belakang ilmu tentang perilaku manusia, pastinya cukup makan waktu untuk memahami segala tetek bengek mengenai html, backlink, permalink, widget, keyword dan sistem kerja “mesin pencari” bernama Google *maklum, sejauh ini yang saya pahami hanya sebatas blogging dan pastinya Kaskus (sundul gan..). Tapi cukup menyenangkan. Pengalaman baru, ilmu baru, dan pastinya secangkir kopi hitam baru yang siap untuk di”seruput” *hahahaha.., tertawa sendiri seperti orang gila.  
Di sini saya menemukan banyak hal yang memenuhi isi kepala saya dengan pemikiran-pemikiran baru. Sosialita yang menurut saya hanya akan ditemukan di film-film atau cerita-cerita fiksi murahan yang sekarang ini sedang marak di kalangan mereka yang menyebut dirinya sebagai Eksekutif Muda. Budaya ‘sikut-menyikut’ diantara sesama team leader, kebiasaan para ‘ahli lidah’ yang pandai sekali menyenagkan hati manager, dan yang menurut saya paling ‘kampungan’, aksi senioritas antara buruh junior dan senior (kayak jaman kuliah aja..hehehehe).

Mungkin saya sedikit terkejut melihat perilaku-perilaku mereka ini karena jujur, saya pernah menemukan yang lebih parah dari mereka-mereka ini, tapi tidak di dalam lingkungan kerja. Tapi saya cukup bersyukur karena ternyata cukup banyak teman-teman baru di tempat ini yang juga memiliki dan menikmati secangkir kopi hitam mereka serta tidak segan untuk membaginya dengan saya.
Dan sepertinya, masih ada hal-hal lain yang belum saya gali lebih dalam di tempat ini tapi saya yakin banyak hal-hal baru yang pastinya akan memberikan rasa baru di tiap seruputan dalam secangkir kopi hitam milik saya ini, hmmm *lagi-lagi sambil tersenyum seperti orang gila..    


Minggu, 08 Mei 2011

Mulailah dari yang terkecil dan termudah..


" Lakukan perubahan pada dirimu sesuai dengan apa yang kamu inginkan, maka dunia akan   menemukanmu " 
~ Mahatma Ghandi ~

Kalau kita perhatikan, sejak memasuki era modernisasi seperti sekarang ini, keadaan dan kondisi peradaban kita sebagai manusia semakin tidak terkendali. Siklus kehidupan yang terus berputar begitu cepat telah menghasilkan begitu banyak perkembangan, terutama bagi peradaban manusia. Coba kita perhatikan, setiap menitnya selalu saja lahir penemuan-penemuan baru di bidang teknologi dan informasi, mulai dari handphone, communicator, Black Berry, iPhone, hingga iPad. Belum lagi media on-line di internet, mulai dari Facebook, Yahoo Messenger, Twitter, sampai webcam, serta Windows Talk Messenger (yang belakangan baru saya ketahui, ternyata lebih sering digunakan bagi mereka yang suka meng”eksploitasi” bagian-bagian intim dari tubuh mereka).

Sampai saat sekarang ini, mungkin sudah teramat sering kita menemukan peradaban manusia yang menurut saya justru semakin jauh dari kaedah kemanusiaan itu sendiri. Bayangkan saja, di zaman sekarang, anak kelas 5 SD sudah sangat akrab dengan media internet dan bahkan teramat mahir membuka situs-situs “17 th keatas”. Semua ilmu pengetahuan bisa didapatkan dengan mudah, cukup melalui “mesin pencari” bernama google dan dengan seketika tenaga kerja guru di sekolah dasar tidaklah lagi diperlukan (yang berarti, kelak angka pengangguran di negeri ini semakin meningkat). 


Mungkin bukan saya saja yang merasakan kejanggalan ini. Banyak juga saya temukan gerakan-gerakan masyarakat yang mencoba concern terhadap masalah ini, mereka mencoba melakukan sebuah revolusi, reformasi, atau apapun istilah inteleknya, dengan tujuan akan adanya  suatu perbaikan yang positif. Suatu perbaikan yang dilakukan melalui sebuah tindakan, bernama PERUBAHAN. Tapi sayangnya, kebanyakan dari gerakan ini juga masih belum efektif karena terkesan tidak tepat sasaran (sekali lagi, mungkin ini sudah jadi sistem dalam strata sosial dan budaya kita, terlalu banyak “kepentingan” ).

Kebanyakan dari gerakan ini selalu menyuarakan perubahan-perubahan besar dengan suara yang lantang. Tentang kemanusiaan, misi penyelamatan lingkungan, rasa senasib dan sepenanggungan, konsep-konsep moral serta gaya hidup “sehat rohani”, tapi masih melakukan perubahan hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang selama ini sudah membantu “menyokong” gerakan-gerakan masyarakat ini.

Di sini saya bukan ingin menjadi munafik atau “sok yang paling benar”, tapi apa tidak sebaiknya sebuah perubahan itu dimulai dari hal-hal yang kecil serta mudah untuk dilakukan. Ketika kita berbicara tentang kemanusiaan dan rasa senasib-sepenanggungan, berbondong-bondong kita mengirimkan bantuan ke pelosok-pelosok dunia tapi “membuang muka” saat bertemu pengemis di jembatan penyeberangan yang biasa kita lewati saat berangkat kerja. Kita bicara tentang penyelamatan lingkungan, “menanam seribu pohon” tapi sayangnya hanya menanam, urusan merawatnya tetap kita serahkan ke ahlinya, mereka yang memakai seragam orange dan helm kuning dari Dinas Pekerjaan Umum. Mereka yang selalu mengedepankan kecerdasan moral dan rohani, “membangun masyarakat yang madani” dan tanpa sadar, wajah mereka tersiar di TV, Koran, serta media-media informasi lainnya saat sedang mengeksplorasi “fantasi liar”nya ketika berada di ruang terhormat, tempat biasa para dewan memutuskan suatu kebijakan tentang negeri ini.

Bagi saya, perubahan pasti datang. Suka-tidak suka, cepat atau lambat. Kita hanya perlu menindak lanjutinya secara bijak dan tidak memberikan pengaruh buruk bagi kita sendiri maupun orang lain. Perubahan adalah suatu proses yang seharusnya berdampak positif, maka bagi saya lebih baik melakukannya dari hal yang terkecil dan mudah. Seperti ada ungkapan  yang kalau tidak salah pernah diucapkan oleh seorang Bob Marley,

“ Jika kamu ingin membuat dunia menjadi gelap, kamu tidak perlu memborong semua kaleng cat berwarna hitam. Cukup kamu pakai kacamata hitammu, dan seisi dunia ini akan terlihat gelap bagimu..”