Rabu, 09 Februari 2011

Peradaban dan Pemahaman Agama..

Hmm.., sekitar dua hari yang lalu, saya membaca salah satu surat kabar ternama di Jakarta. Di situ tertampang berita bertajuk “MUI Menyatakan Bahwa ESQ (Emotional Spiritual Quotien) Tidaklah Haram”. MUI menyampaikan bahwa apa yang  menjadi dasar-dasar pelatihan yang diadakan ESQ tidaklah menyesatkan dan melenceng dari kaedah-kaedah agama Islam. 

(MODE KRITIS : ON)
Seperti yang kebanyakan terjadi di masyarakat umum Indonesia, orang sering kali menafsirkan sesuatu lewat kajian ilmu agama. Bukan maksud mengenyampingkan atau menyalahkan, ilmu agama memang harus menjadi pedoman utama dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi di dunia tapi terkadang orang kurang memahamni kajian agama secara baik dan benar. Coba aja kita perhatikan belakangan ini. Sejak era pemerintahan Alm. K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang memberi kebebasan secara lebih terbuka dalam hal beragama, mulai bermunculan kelompok-kelompok agama yang berkembang dan tidak sedikit yang meresahkan masyarakat. Contohnya Ahmadyah. Belum lagi pertentangan Muhammadyah dengan Nahdatul Ulama perihal perhitungan 1 Ramadhan (Hijab & Rukhiyat) yang mengakibatkan kebingungan di masyarakat dalam menjalankan ibadah puasa.
Begitu juga dengan masalah ESQ dan beberapa lembaga-lembaga pelatihan yang menggunakan kajian agama sebagai dasar pemikiran. Kita sering kali menemukan lembaga-lembaga pelatihan, mulai dari psikologi sampai dengan kewirausahaan yang memasukan pemahaman-pemahaman agama. Padahal, kalau kita lihat lebih mendalam, banyak hal-hal yang menjadi kajian lembaga-lembaga tersebut ternyata bertentangan dengan kajian-kajian agama itu sendiri. Misalnya, lembaga-lembaga pelatihan kewirausahaan yang berbasis spiritual, dimana seperti yang kita semua tahu bahwa dalam berwirausaha atau bisnis, kita harus menarik keuntungan sebesar-besarnya yang berarti, dalam berbisnis selalu ada yang untung dan rugi. Sedangkan kalau kita melihat dari kajian agama, bukankah seseorang yang mencari keuntungan sebesar-besarnya itu sama dengan orang yang tidak pernah puas (bersyukur)? Dan dalam ilmu perniagaan yang dianjurkan oleh agama, bukankah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya harus mendapatkan keuntungan yang sama?

Sebenarnya saya sendiri pun masih belum dapat memahami permasalahan ini dengan baik. Di sini saya mengajak para penikmat “Secangkir Kopi Hitam” yang tengah saya sajikan ini untuk berpikir dan memahami ini secara seksama.
Jujur, saya tidak ingin menggurui siapa pun, hanya saja saya merasa bahwa terkadang tidak semua hal bisa dengan mudah dileburkan ke dalam kajian agama, mengingat bahwa kita harus terlebih dahulu memahami secara benar dasar-dasar dari ilmu agama yang kita anut sehingga dalam praktekny di kehidupan nyata, kita tidak memiliki pemahaman yang mentah dan cenderung menyesatkan.