Selasa, 31 Juli 2012

Saling Memperhatikan

Apa anda percaya dengan banyaknya teori tentang “manusia adalah mahluk sosial” yang sudah ditanamkan dalam diri kita sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar dulu? Teorinya adalah manusia merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran manusia lain untuk mempertahankan eksistensi kehidupan, atau dengan kata lain, bahwa pada dasarnya ada semacam keterikatan atau ketertarikan yang terjadi diantara manusia satu dengan yang lainnya dan disadari ataupun tidak ternyata keterikatan seringnya dimulai dengan apa yang dinamakan perhatian.

Perhatian atau atensi adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar mengenai sejumlah informasi yang ada. Menurut Sternberg R.J, proses atensi ini dianggap dapat membantu efesiensi penggunaan kemampuan mental dan kecepatan reaksi terhadap suatu rangsang.

Tapi kalau saya lihat pada realitanya, perilaku - perilaku yang muncul mengenai permasalahan “atensi” dan “perhatian” ini justru menimbulkan paradoks baru di tengah peradaban masyarakat.

Mungkin kebanyakan dari kita tidak sadar dengan beberapa perilaku tersebut. Misalnya, kecenderungan dimana pada umumnya kita sebagai manusia lebih suka memperhatikan orang lain yang memang ingin kita perhatikan, dan seringnya tidak memperhatikan orang lain yang memperhatikan kita. Menariknya adalah kalau kita pikir lagi, apakah mereka orang – orang yang memang ingin kita perhatikan itu juga memperhatikan kita? Padahal secara jelas ada orang – orang yang selalu memperhatikan kita hanya saja kita terlalu sibuk sehingga kita sering “melewatkan” keberadaan mereka, orang – orang yang memperhatikan kita.

Selain itu kecenderungan dimana banyaknya manusia yang memperhatikan orang lain dikarenakan adanya suatu kepentingan, baik kepentingan commercial, pribadi ataupun golongan. Seringnya kita sebagai manusia melakukan hubungan dengan manusia lain dikarenakan adanya maksud – maksud tertentu, seperti beberapa calon “pembesar” di negara ini yang begitu memperhatikan para rakyat miskin saat mereka dalam masa kampanye. Selepas mereka terpilih, perhatian mereka mendadak menghilang.

Beberapa hal semacam ini telah menjadi budaya baru dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini. Di satu sisi cukup menarik, namun di sisi lain sangat mengkhawatirkan jika seandainya pemahaman ini terus berkembang dan perlahan menggeser nilai moral serta hakekat dari keberadaan kita sendiri, mahluk sosial yang bernama manusia.



Senin, 23 Juli 2012

#HariAnakNasional


"You can learn many things from children. How much patience you have, for instance".
~Franklin P. Jones~


Hari ini, tepat tanggal 23 Juli 2012, bangsa kita memperingatinya sebagai Hari Anak Nasional. Sebenarnya perayaan Hari Anak Nasional di setiap negara berbeda – beda namun perayaan hari anak pertama kali dilakukan oleh salah satu organisasi bangsa yang mengurus dan memperhatikan kesejahteraan anak – anak di seluruh belahan dunia, UNICEF pada bulan Oktober 1953 dan sejak tahun 1954, PBB atau Perserikatan Bangsa – Bangsa menetapkan bahwa Hari Anak Sedunia jatuh pada tanggal 20 November.

Pada perjalanannya dari tahun 1954 sampai dengan saat ini, masalah dan problematika yang terjadi pada keadaan anak - anak di tiap negara, perlahan telah menjadi salah satu isu utama yang sering kali diperbincangkan oleh sebagian besar masyarakat, terlebih bagi mereka para pemerhati anak, lingkungan hidup, sosial dan budaya serta pendidikan di seluruh belahan dunia. Sebut saja, isu perdagangan manusia yang ternyata cukup banyak menjadikan anak sebagai korban. Lalu masalah eksploitasi anak, dimana anak dipaksa untuk menjadi komoditi atau penopang kesejahteraan keluarga, serta yang paling klise, terutama di negeri kita ini yaitu pendidikan dan kesehatan yang secara kasat telah meng”kambing-hitam”kan kemiskinan sebagai alasan utamanya.

Melihat apa yang terjadi pada dunia anak – anak, terutama di Indonesia, terkesan masih sangat jauh dari kata baik. Masalah keadaan anak – anak di Indonesia yang setiap tahunnya seperti terus bertambah yang padahal telah begitu banyak orang – orang yang peduli terhadap keadaan ini, sebut saja Komnas Perlindungan Anak Indoneisa (KPAI) dan pastinya aparat negara yang tergabung dalam Departemen Sosial nampaknya tidaklah cukup untuk mengtasi masalh ini.

Jika meneliti sedikit apa seperti apa masalah yang terjadi pada lingkungan anak di Indonesia, maka akan kita lihat bersama begitu banyak fenomena yang ada, mulai dari anak jalanan dan terlantar, anak - anak yang putus sekolah, anak – anak yang menjadi korban kekerasan, baik di luar maupun di dalam rumah tangga, Narkoba, serta yang paling menyedihkan adalah perdagangan manusia dan pelacuran, yang mana anak – anak dan perempuan adalah korban utamanya.

Menurut Education For All Global Monitoring Report yang diterbitkan oleh UNESCO pada tahun 2011 lalu menyatakan bahwa Negara Indonesia berada pada peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index, yang artinya bahwa karena tingginya jumlah yang putus sekolah menyebabkan rendahnya pembangunan negara. Belum lagi masalah anak jalanan yang selama tiga tahun belakangan ini terus meningkat angka pertumbuhannya. Dinas Sosial DKI Jakarta mengkalkulasikan bahwa pada tahun 2009 terdapat 3.724 anak jalanan, dan bertambah jumlahnya pada tahun 2010 menjadi 5.650 anak jalanan, dan berdasarkan data terakhir, tahun 2011 jumlahnya terus bertambah menjadi 7.315 anak jalanan. Jumlah ini termasuk berbagai profesi anak jalanan, mulai dari pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1 dan tukang parkir.

Meningkatnya berbagai permasalahan pengabaian dan pelanggaran dari hak anak – anak terus terjadi di negeri kita ini. Ini tampak jelas dimana telah terjadi 2.386 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2011, yang mana angka ini meningkat 98 persen jika dibandingkan dengan kasus - kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi tahun 2012, yaitu sebanyak 1.234 kasus.

Absennya pemerintah terhadap penanggulangan masalah ini dianggap menjadi penyebab utama mengapa masalah pelanggaran hak asasi terhadap anak terus bertambah dan meningkat. Pemerintah dinilai telah gagal untuk melindungi anak – anak yang notabenenya juga termasuk dalam warga Indonesia yang hak dan kepentingannya justru harus lebih dilindungi karena hanya pada anak – anak ini, regenerasi peradaban bangsa yang lebih baik dapat kita wujudkan demi kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.


Kamis, 19 Juli 2012

Kita Bebas Memilih, "Asalkan"..


Beberapa tahun belakangan ini banyak sekali orang yang berbicara tentang kebebasan, baik itu yang bersifat hak asasi maupun tanggung jawab moral dari peradaban yang sedang mereka jalani saat ini. Berbagai hal, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama, semua dikaitkan dengan prinsip – prinsip kebebasan yang pada kenyataannya, pemahaman kebebasan itu justru menimbulkan begitu banyak konflik, baik antar sesama manusia maupun internal dari manusia itu sendiri.


Dalam pemahaman harafiahnya, kebebasan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dapat bertindak sesuai dengan keinginan atau kehendaknya. Dalam salah satu karyanya, On Liberty, John Stuart Mill mennyatakan bahwa kebebasan diartikan dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu kebebasan dalam bertindak dan kebebasan dari adanya tekanan. Hal ini menjadi sangat menarik untuk diamati karena paham kebebasan yang telah menjadi fundamental ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat, terutama masyarakat Indonesia sekarang ini.


Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia telah banyak “membuka diri” terhadap modernisasi sekarang ini. Mulai dari emansipasi perempuan, eksploitasi anak di bawah umur, hingga kebebasan untuk beribadah dan beragama. Semua ini didasari atas pemenuhan hak dari setiap warga negara, baik pria, wanita, tua, muda, relijius, maupun atheis. Namun pada pelaksanaannya, kebebasan justru menimbulkan banyak pertentangan dan silang pendapat yang berakhir pada perilaku masyarakat yang cenderung agresif dan anarkis.


Pada zaman moderen ini, kaum perempuan dinilai mendapat begitu banyak kebebasan untuk mengatur masa depan mereka dimana pemahaman konservatif para perempuan yang hidup di zaman “Siti Nurbaya” telah mengalami revolusi ideologi dan cara pikir yang lebih maju. Salah satunya adalah adanya kebebasan bagi perempuan untuk menentukan dan memilih pria mana atau seperti apa yang kelak akan menjadi pendamping hidup mereka. Kebebasan juga dianggap memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak – anak di bawah umur untuk merancang masa depan mereka, dengan diberlakukannya sistem kurikulum berbasis minat dan bakat di setiap sekolah dan instansi atau lembaga pendidikan.


Namun sekali lagi, pemikiran – pemikiran besar tersebut justru berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak orang. Kebebasan untuk bertindak, menentukan atau memilih hanya berlaku ketika kita memang memiliki beberapa pilihan atau opsi. Perempuan boleh menentukan atau memilih pria mana yang akan menjadi pasangan hidup, “asalkan” pria tersebut mapan, berkecukupan, baik, dewasa, bertanggung jawab, dapat menjadi imam bagi keluarga, dan sebagainya. Anak – anak bisa memilih pelajaran apa yang mereka sukai berdasarkan bakat dan minat yang mereka miliki, “asalkan” sesuai dengan keinginan kedua orang tua mereka.


Mungkin terkesan sepihak karena kebebasan kini diartikan dalam banyak pemahaman yang justru membuat makna dari kebebasan itu sendiri menjadi rancu. Sering kali mereka yang memiliki ke”bijak”sanaan berlebih menengahi perdebatan ini melalui pandangan mereka yang menyatakan bahwa,
seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu selama tidak merugikan hak – hak orang lain serta tetap menjalankan kewajibannya sebagai manusia”.
Tapi tetap saja, pandangan ini tidaklah memberikan jalan keluar atas pertentangan tentang pelaksanaan kebebasan yang terjadi diantara manusia sekarang ini karena secara kasat, ketika berbicara perihal kebebasan, manusia cenderung melihat hal tersebut sebagai batasan.


Selasa, 03 Juli 2012

Karena Kita Ingin Eksis..

Di masa depan, setiap orang bisa menjadi terkenal di seluruh dunia hanya dengan lima belas menit”.
~ Andy Warhol ~

Sudah menjadi tujuan dari tiap mahluk hidup yang bernama manusia untuk meng-aktualisasikan dirinya dengan sebaik mungkin demi mendapatkan berbagai pencapaian terbaik dalam kehidupannya. Hal ini begitu tergambar dalam catatan sejarah peradaban dunia, dimana begitu banyak nama – nama besar yang telah membuat begitu banyak perubahan demi eksistensi atau kelangsungan hidup manusia.

Secara harafiah, eksistensi memiliki arti keberadaan atau suatu perihal yang memang ada. Para filsuf menyatakan bahwa eksistensi berpusat pada manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar (Eksistensialisme). Benar adanya jika eksistensi telah menjadi tujuan utama dari apa yang kita sebut dengan peradaban karena pastinya setiap mahluk hidup akan berupaya untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan hidup mereka.



Pada era global seperti ini, banyak orang yang menunjukan keberadaan dirinya dengan melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan yang justru pada kenyataannya telah menggeser esensi dari nilai serta norma yang berlaku selama ini dan tanpa sadar, mereka mengartikannya dengan pemahaman baru yang dianggap lebih moderen serta fleksibel. Efek domino yang kuat menyebabkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau bahkan lebih tepatnya, saling mendominasi diantara perkembangan zaman dan eksistensi yang menyebabkan begitu banyak manusia menciptakan pola -pola baru atau mainstream yang tidak memiliki keterikatan satu sama lain, maka bukanlah suatu pemandangan baru jika begitu banyak manusia yang memilih menjalani hidup menurut aturan mainstream-nya sendiri – sendiri.


Eksistensi pada umumnya akan mendatangkan penghargaan diri bagi individu yang memperjuangkannya. Dalam kajian psikologi, Abraham Maslow menyatakan bahwa penghargaan diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap manusia (Needs of Hierarchy)”.


Pada kenyataannya sekarang ini, eksistensi itu sendiri telah diartikan dengan pemahaman lain yang dimana pemahaman ini dianggap telah melunturkan nilai – nilai moralitas serta norma oleh orang – orang terdahulu yang sebenarnya sudah lebih dulu “eksis” dibandingkan dengan orang – orang dengan paham moderen di masa sekarang ini. Pada era terdahulu yang cenderung mengarah pada pola konservatif, eksistensi manusia lebih ditekankan pada penanaman budi pekerti dengan pengharapan akan lahirnya generasi yang memiliki nilai – nilai suri tauladan bagi sesamanya. Namun seiring perkembangannya, perspektif manusia moderen menganggap bahwa pemahaman seperti itu sudah tidak layak lagi untuk diaktualisasikan. Pada tatanan masyarakat moderen, eksistensi lebih menekankan prinsip – prinsip individualisme yang secara harafiahnya dapat diartikan bahwa sekarang ini eksistensi manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama.

Teramat sulit bagi masyarakat awam untuk menyikapi masalah ini karena ke-berpihak-an bukan solusi terbaik yang harus kita ambil, namun perlu adanya ke-bijaksana-an dari cara pandang dan berpikir dari kita semua mengenai pertentangan ini sebab bagaimanapun, fenomena eksistensi ini akan berakibat pada lahirnya generasi baru di masa mendatang yang kehilangan jati diri hanya dikarenakan tidak paham bagaimana mereka harus menunjukan esksitensi diri mereka.