Senin, 28 November 2011

Untuk semuanya, Terima kasih banyak...

Ya, ini adalah hari pertama saya di umur 27 tahun, yang berarti berkurang lagi kuota saya untuk hidup di dunia ini. Cukup sederhana, hanya makan bersama di rumah namun sangat berkesan karena kali ini semuanya lengkap, Ibu, Kakak, dan adik saya (minus satu. Yah, “orang itu” memang tidak pernah hadir). Iya, tepat tanggal 27 November kemarin, adalah hari saya dilahirkan dua puluh tujuh tahun yang lalu. Bangga? Pasti, mengingat pada tanggal itu, lahir juga salah satu legenda musik blues yang menjadi salah satu dewa gitar di dunia. Gak percaya? Coba baca biografinya Alm. Jimi Hendrix.


Banyak orang bilang kalau di umur saya sekarang inilah seseorang akan menentukan arah tujuan hidupnya kelak, dan hanya ada dua arah pilihan arah yang bisa di tuju. Ya, saya rasa Anda semua tahu apa dua pilihan itu? Bingung? Mungkin Anda bisa memahainya lewat beberapa nama besar seperti Kurt Cobain (Nirvana), Jim Morisson (The Doors), Janis Joplin (Big Brother and The holding Company), Brian Jones (Rolling Stones), atau yang paling terbaru ini, Amy Winehouse dan pastinya nama Jimi Hendrix itu sendiri. Ya, mereka semua “berhenti” (meninggal) di usia 27 tahun.


Banyak hal yang sudah saya jalani sampai dengan usia saya di hari ini, mulai dari saat-saat paling menyakitkan sampai yang menyenangkan dan semua itu saya lewati dengan berbagai situasi dan keadaan yang terkadang gak pernah bisa saya bayangkan.


Mungkin tulisan saya akan sangat panjang dan membosankan untuk dibaca kalau saya harus menceritakan tiap detail kehidupan saya karena jujur, memang terkesan sangat membosankan. Jadi di hari pertama saya menginjak angka 27, saya ingin mengucapkan sebanyak-bayaknya terima kasih kepada kalian semua yang hadir di dalam hidup saya. Saya tidak ingin meminta maaf, karena saya tahu banyak hal yang sulit untuk dimaafkan tapi saya berjanji kepada Anda semua kalau saya akan berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Yah, saya yakin Anda semua tahu peribahasa “paku telah menancap, dicabut ataupun tidak, temboknya tetap berlubang”. Ya kan?


Terlalu panjang daftar yang harus saya sampaikan kalau harus saya tulis satu persatu dari Anda semua tapi yang jelas, rasa terima kasih ini akan terus saya sampaikan pada Anda semua karena telah hadir dan ikut meramaikan hari-hari saya, yang akhirnya, saat ini sampai pada hari ke sepuluh ribu sembilan ratus lima puluh (kalau tidak salah hitung). Sekali lagi terima kasih untuk semuanya, saya merasa bahagia bisa sampai di hari ini bersama kalian semua. Terima kasih...

Kamis, 17 November 2011

Adab Berbahasa

bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”
~Plato~

Secara sederhana, banyak orang sering mengartikan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan maksud dan tujuan atau juga sekumpulan kata yang digunakan sebagai penjelasan atas keinginan. Saya sering kali mempertanyakan masalah penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia. Beberapa orang yang mengatakan kalau bahasa Indonesia itu jauh lebih rumit atau dalam istilah yang lebih moderen disebut “ribet”. Menurut mereka, bahasa Indonesia terkesan diperhalus dan cenderung tidak tepat sasaran (muter-muter) sehingga memiliki banyak nilai ambiguitas di dalam pemahamannya. Sebagai contoh, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pembanding. Misalnya penyebutan “bulan" dalam bahasa Inggris yang menyebut “bulan” yang ada di langit dengan moon dan “bulan” yang ada di kalender disebut dengan month, sedangkan dalam bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan penyebutan antara “bulan” di langit dengan “bulan” yang ada di kalender. 
 
Mungkin ada benarnya kalau sebagian besar orang ini berpendapat demikian karena jika saya perhatikan, tentu akan muncul kebingungan dalam penggunaan kaedah bahasa Indonesia itu sendiri. Bagaimana kita harus menjawab ketika seseorang bertanya pada kita, “ini bulan apa ya?” melalui telepon (yang berarti kita tidak melihat apakah orang tersebut sedang melihat langit atau kalender), apakah kita harus menjawab Januari, Febuari? Atau kita harus menjawab purnama?

Tapi yang cukup mengganggu buat saya adalah adanya krisis penggunaan bahasa Indonesia dalam cara membaca dan penyebutannya (saya sering menyebutnya dengan “membunyikan huruf”). Coba saja Anda perhatikan bagaimana diri Anda menyebut merk (orang bule menyebutnya dengan brand atau signboard), apakah Anda menyebutnya sesuai dengan tulisannya, merk? Atau anda menyebutnya dengan merek? Saya lebih suka menyebutnya dengan merk karena jika saya menyebutnya dengan merek maka akan muncul persepsi bahwa saya sedang membicarakan WTS (mohon maaf, Wanita Tuna Susila).
Mungkin sebagian orang akan menyebut saya terlalu kritis dan sebagian lainnya akan mengkerutkan dahinya sambil memicingkan mata (penyebutan dalam istilah moderennya, krik-krik) karena dalam anggapan mereka dan kebanyakan orang, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu ditanggapi secara berlebihan (yang dalam penyebutan lebih moderennya, sepele). 

“kan yang penting, orang tau maksudnya! Masa kayak gitu aja mesti ribet? Anak SD juga tau kali!”, begitu yang seringnya orang bilang tiap saya tanyakan mengenai hal ini. Dan saya teringat pada salah satu keponakan saya yang masih duduk di kelas 4 SD, bertanya dengan polosnya (maaf, maksudnya bukan polos “tanpa busana”) kepada Ibu saya tentang berita di koran yang baru saja di bacanya. “Nek.. Nek, kok “Bapak” ini ditangkap polisi? Kan dia baik mau “nidurin” anaknya?” dan sontak Ibu saya langsung mengambil koran yang sedang di baca keponakan saya itu, sambil mengalihkan perhatiannnya dengan pertanyaan seputar pelajaran sekolahnya (dan saya menggelengkan kepala sambil ketawa begitu membaca berita di koran tersebut, Akibat Meniduri Anak Kandungnya, Seorang Bapak Dihukum Lima Tahun Penjara).

Entah apa karena perkembangan zaman yang telah banyak menyentuh kemajuan teknologi (dimana komunikasi cenderung lebih diaktualisasikan lewat kecanggihan mesin atau “robot”) sehingga penanaman nilai serta kaedah dari bahasa itu sendiri mulai pudar secara perlahan. Dan ketika peradaban moderen telah benar-benar mengenyampingkan kaedah bahasa maka mungkin akan semakin muncul kebingungan dan ambiguitas dalam adab berkomunikasi antar manusia. 

 

Selasa, 15 November 2011

Peradaban yang Beradab ?


Kemarin salah satu sahabat saya men-share salah satu tulisannya yang berisi pandangan dan pemikirannya kepada saya. Jujur, saya merasa beruntung karena ternyata sahabat saya itu belum pernah membagi tulisannya itu dengan orang lain disamping isi tulisannya yang mampu menggelitik isi pikiran setiap orang yang membacanya, termasuk juga saya.

Dalam tulisannya itu, dia berbicara mengenai “adab hidup” yang ada di tatanan masyarakat kita sekarang ini. Mulai dari pergeseran nilai-nilai yang dianggap sudah kadaluarsa padahal kalau dikaji lebih mendalam, nilai-nilai tersebut jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam peradaban moderen seperti sekarang ini. Dalam tulisannya itu, saya mengutip sebuah paragraf yang menurut saya cukup memprovokasi keseluruhan isi kepala saya,

“Menurut saya kalau akhirnya manusia bisa menemukan bahan bakar gas dari kentutnya sendiri, maka pada mulanya akan muncul banyak milyuner baru, kemudian para milyuner tersebut harus rela berbagi dan menurunkan derajatnya menjadi jutawan bersama dengan para tukang kentut yang akhirnya sadar kalau kentut mereka laku dijual...” ~Adab Hidup, Sandi Wiradinata~



Dari kutipannya ini, saya mencoba memahami beberapa hal mendasar tentang peradaban dan manusia itu sendiri. Sejak Nabi Adam turun ke dunia sampai sekarang ini, begitu banyak proses kehidupan yang berkembang, mulai dari perkembangbiakan atau evolusi manusia, proses pola pikir dan konsep-konsep kehidupan, hingga penemuan berupa realisasi dari ide dan konsep itu sendiri. Tentunya masih saya ingat bagaimana kontroversi yang muncul ketika Charles Darwin mengatakan bahwa kita (manusia) itu berawal dari primata dan yang saya tahu dan yakin dengan pasti, Tuhan menciptakan Adam itu sebagai manusia, bukan monyet.

Saya pernah, mungkin sering coba mengkaji konsep-konsep tentang tatanan kehidupan yang berkembang pada peradaban moderen sekarang ini. Hampir semua aspek dan elemen dari kehidupan masyarakat yang ada sekarang ini bersentuhan dengan apa yang disebut dengan teknologi atau saya sering menyebutnya dengan zaman serba-canggih. Lihat saja yang terjadi di lingkungan sekitar kita dimana internet sudah menjadi komoditi utama dalam segala aspek, contohnya di lingkungan pendidikan. Cukup dengan search engine atau mesin pencari (istilah kerennya googling) anak-anak sekolah dasar bisa mempelajari apa itu rumus phytagoras yang berarti beberapa tahun ke depan kebutuhan akan tenaga pengajar akan semakin berkurang, yang dengan kata lain angka penggangguran di Indonesia terus bertambah. Hebat bukan?

Mungkin terlalu rumit jika hanya berdasarkan isi pikiran saya yang bisa jadi salah ini karena pada kenyataannya, saya termasuk di dalam peradaban itu sendiri, begitu juga Anda semua. Mungkin perlu adanya nilai, ide dan konsep-konsep yang dapat mengembalikan peradaban pada sisi manusiawi dari manusia yang termasuk di dalam peradaban itu sendiri.

Ya. Semoga pandangan saya ini tidaklah terlalu menimbulkan kekhawatiran atau memprovokasi Anda secara berlebihan, tapi jika Anda bisa melihat dan membaca kekhawatiran saya ini secara bijaksana maka saya rasa akan ada rasa kemanusiaan diantara kita sebagai manusia.







Jumat, 11 November 2011

Seberapa Sering Sih Kita Absen Dari Kehidupan?


Hari ini supervisor GA (General Affair) kantor gak masuk dan itu berarti satu hari kerja tanpa penerapan aturan. Gak ada yang nanya si A kemana? Si B kenapa absen? dan pertanyaan serta bla bla bla lainnya yang secara garis besar cuma perihal absen atau ketidakhadiran. Senang? Pastilah, mengingat gak ada orang yang biasanya nanya, “tadi absennya telat ya? Makanya, jangan begadang..bla bla bla”. Tapi jujur ada yang tiba-tiba jadi ganjalan di pikiran saya, kenapa ya absensi atau ketidakhadiran itu bisa menjadi sesuatu yang sangat crusial? Sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh, saya coba memahami perihal absensi ini.

Terkadang saya mikir, ketika saya benar-benar absen untuk masuk kerja, pasti HRD ataupun GA kantor tempat saya kerja sibuk mencari tahu keberadaan dan keadaan saya. Kenapa saya absen? Apa saya sakit? Kalau saya sakit, bagaimana keadaanya? Dirawat atau hanya istirahat di rumah? Dan bermacam-macam pertanyaan penuh rasa empati tapi kesannya curigaan. Sikap seperti ini seakan-akan menunjukan bahwa mereka sangat mengharapkan kehadiran kita dan gak mau kalau kita pergi sedangkan keadaan memang mengharuskan kita absen, entah itu karena kita sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau karena kurang mendapat apresiasi dari tempat kita bekerja sekarang ini. Cukup aneh gak sih?

Kita sering banget mengeluh soal si bos yang tidak pernah memberikan apresisai yang setimpal atas loyalitas kita yang tidak pernah absen untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan tapi dari persepsi saya yang dangkal ini, saya mencoba mengembangkan pemikiran lebih luas. Pada kenyataannya, kita sering kali harus absen dari berbagai dinamika dan realita kehidupan yang sedang kita jalani. Coba aja kita ingat, seberapa sering kita absen untuk sekedar menemani Ibu minum teh di sore hari hanya karena ingin refreshing di hari libur kerja? Seberapa sering kita absen untuk mendengar cerita anak-anak kita sewaktu di sekolah tadi hanya karena ada lemburan yang harus kita kerjakan? Seberapa sering kita absen untuk mendengar keluh kesah istri yang ingin bermanja-manja kangen? dan kita menanggapinya hanya dengan, “sudah ya, Ayah cape”.

Mungkin seperti terlalu mendramatisir keadaan atau pemikiran, tapi coba kita pikirkan lagi baik-baik perihal absensi ini. Coba kita lihat dan bandingkan, seberapa banyak absen yang kita buat dalam hidup ini? Seberapa sering kita absen dalam pekerjaan kita yang bernama “kehidupan”?






Rabu, 09 November 2011

Secangkir kopi Hitam & Ciuman Pertama kamu..

Jam sepuluh malam, di teras rumah. Saya dan secangkir kopi hitam beserta beberapa teman masa kecil terlihat begitu seru dengan forum “anak komplek” kali ini, mereka membahas soal siapa dan seperti apaciuman pertama” mereka masing-masing dan itu cukup menggelikan, setidaknya bagi saya malam itu..., secangkir kopi hitam dan “ciuman pertama.



Ciuman pertama. Seberapa orang yang masih mengingat secara detail peristiwa tersebut? Hmm..., banyak orang mengingat ciuman pertama mereka sebagai momen terindah yang gak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Ciuman pertama adalah ketika untuk pertama kalinya seseorang mencium bibir pasangannya atau orang lain dan kebanyakan orang mengalami bermacam perasaan saat mereka mencium atau mendapat ciuman pertama, mulai dari canggung, aneh, sampai dengan perasaan bahagia. Ciuman pertama itu sangat memorable, kebanyakan orang masih mengingat siapa ciuman pertama mereka meski mungkin mereka tidak bisa mengingat keseluruhan seperti apa ciuman pertama mereka.



Ciuman pertama identik dengan “pacar pertama”, iya kan? Tapi pada kenyataannya banyak juga orang yang memberikan atau mendapatkan ciuman pertama justru bukan dari pasangannya, melainkan dari orang lain, misalnya kalau pernah dengar atau mungkin merasakan seperti apa rasanya dicium atau mencium sahabat sendiri. Atau juga dengan orang asing yang baru satu-dua jam sewaktu clubbing. Tapi yang paling crusial itu ciuman pertama sama pacar, tunangan, atau bahkan suami-istri teman sendiri dan pastinya yang satu ini bukan cuma mendebarkan, tapi juga menakutkan bukan?



Nah, kalau boleh berbagi, apa sih arti “ciuman pertama” buat kamu semua? Bukan ingin mengungkit atau membuat kamu mengingat kembali memori tentang pacar atau mantan-mantan kamu terdahulu, tapi hanya ingin sekedar berbagi pandangan mengenai apa, siapa, atau seperti apaciuman pertama” kamu melalui tulisan saya ini. Share pandangan, pendapat, dan pengalaman kamu semua di box Postkan Komentar di bawah ini tentang “ciuman pertama” kamu.. 




 

Rabu, 02 November 2011

Kenapa sih mereka pilih bercerai?

“Menikah itu wajib hukumnya, kalau sudah sanggup”, itulah pernyataan pernah yang saya dapat dari beberapa orang terdekat saya yang telah menjalani kehidupan pernikahan. Mereka banyak memberi saya pandangan secara “audio” maupun “visual” mengenai apa yang disebut dengan pernikahan. Menurut mereka, pada akhirnya setiap orang pada akhirnya akan menikah, mau itu dengan orang yang mereka inginkan atau pun dengan orang pilihan orang tuanya. Tapi yang agak susah untuk saya pahami adalah ketika saya bertanya, “kalau emang pada setiap orang akhirnya harus menikah, kenapa banyak banget pasangan menikah yang berakhir dengan perceraian?” lalu mereka menjawab sekenanya, “ya berarti gak jodoh” dan mendadak dahi saya penuh dengan kerut.



Saya “seruput” secangkir kopi hitam sambil memikirkan persoalan pernikahan yang membuat kepala saya ini jadi terasa “penuh dengan lebah”. Kalau saya lihat pada kenyataan yang ada, setiap hari ada saja pasangan yang saling mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan dan berakhir dengan kata cerai. Dimulai dari dua orang yang saling mencintai dan ingin bersumpah sehidup-semati, hidup bersama baik dalam keadaan senang maupun susah dan mereka menikah. Pada awal pernikahan semua tampak berjalan dengan sangat mulus maka terpikir untuk membuat beberapa rencana, memiliki momongan, menabung untuk cicilan rumah, dan bla bla bla. Pada tahun-tahun berikutnya beberapa rencana sudah terlaksana, anak yang lucu serta rumah yang nyaman dan pelan-pelan mulai muncul percekcokan kecil, mulai dari peran suami yang mencari nafkah dan istri mengurus anak, yang mana pada masa ini ego mulai mengambil alih kesadaran mereka sebagai sepasang suami-istri dan orang tua. Sampai ke permasalahan nafkah, baik lahir maupun bathin. Suami yang mati-matian bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya sampai kehabisan waktu dan tenaga untuk memenuhi “tanggung jawab”nya sebagai suami terhadap istri, sehingga kecurigaan sang istri kalau suaminya diam-diam memiliki “tanggungan” lain di luar rumah.



Yang cukup menggelikan buat saya adalah kebanyakan dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan pernikahan itu hanyalah masalah kecil yang sering kali dibesar-besarkan hanya karena ego dari masing-masing pasangan yang akhirnya menciptakan pikiran-pikiran negatif dalam diri mereka masing-masing. Banyak sekali pertengkaran dalam pernikahan bermula dari persepsi dangkal yang justru berawal dari dalam diri masing-masing.



Seandainya setiap pasangan saling memahami kondisi dan keadaan dari pasangannya, tentunya keharmonisan dalam pernikahan akan jauh lebih mudah untuk diwujudkan. Bukankah akan lebih memberikan kebaikan bagi setiap pasangan yang sudah atau mau menikah? Ya, meskipun pastinya hal ini akan membawa keburukan bagi para pengacara perceraian.



Bagaimana menurut Anda semua setelah membaca tulisan saya yang sepertinya “gak penting” ini? Ada yang punya pendapat yang lebih “gak penting” dari pendapat saya ini?