Sewaktu
masih kuliah dulu ada salah satu dosen saya yang menjelaskan tentang
delusi dan beberapa macam bentuknya yang pernah atau mungkin sering
dialami oleh manusia pada umumnya. Secara sederhananya, delusi itu
semacam kesalahpahaman yang terjadi dalam diri seseorang tentang apa
yang diyakininya– seringnya kondisi ini juga dibarengi dengan
gejala paranoid atau ketakutan yang berlebihan, dimana penderitanya
merasa dibuntuti oleh sesuatu yang dianggap mengancam hidupnya. Dari
apa yang dijabarkan oleh dosen saya saat itu, ada satu pembahasan
menarik yang menurut dosen saya sedikit keluar konteks namun masih
memiliki korelasi dengan gejala delusi itu sendiri. Sebuah fenomena
otak dimana seseorang seperti mengalami pengulangan waktu atau
kejadian. Kebanyakan orang menyebutya dengan Deja Vu.
Deja
Vu merupakan kondisi saat
seseorang merasa memiliki pengalaman tertentu tentang sesuatu yang
sedang berlangsung, dimana seseorang itu seperti sudah pernah
mengalami situasi tersebut jauh sebelumnya– biasanya orang tersebut
merasa seolah-olah pernah mengalami peristiwa yang sedang terjadi
kini atau seperti sedang mengulangi kejadian tersebut, entah itu di
dalam mimpi ataupun di masa lalu. Kata dosen saya, sejalan dengan
perkembangan kajian ilmu psikologi dan semacamnya ternyata pemahaman
dari deja vu itu
sendiri juga mengalami perkembangan, dan salah satunya adalah apa
yang disebut dengan Jamais Vu.
Fenomena
ini adalah bentuk lain dari deja vu, yang
justru gejalanya bertolak belakang dengan fenomena deja vu
itu sendiri. Jamais vu
adalah kondisi dimana seseorang
seperti kehilangan memori atau ingatan tentang sesuatu yang memang
pernah terjadi dalam hidupnya– penggambaran fenomena ini lebih
kepada keadaan dimana seseorang menerka-nerka sebuah situasi yang
terlupakan, padahal jelas pernah dialaminya. Biasanya kondisi ini
disebabkan oleh kelelahan otak dan ini mungkin saja terjadi pada
setiap orang.
Bagi
saya, fenomena jamais vu ini
menarik untuk ditelaah lebih mendalam, karena bagi kebanyakan orang,
pastinya akan sangat menyenangkan jika mereka mengalami fenomena
jamais vu– khusus
untuk kejadian tidak menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidup
mereka. Bukan ingin membuat kesimpulan sepihak, tapi saya melihat
pada kenyataannya sehari-hari, dimana hampir sebagian besar orang
berupaya untuk melupakan (atau berharap lupa) kejadian-kejadian yang
mereka anggap tidak menyenangkan, agar mereka bisa merasa lebih
bahagia. Kebanyakan orang berusaha keras untuk menciptakan 'jamais
vu'nya sendiri dalam otak
mereka, yang padahal menurut apa yang saya yakini, tidak semua hal
yang menyakitkan itu akan menyebabkan ketidak bahahagiaan dalam hidup
kita.
Ibu
saya pernah bilang begini, ”Sebelum kamu merasakan
bahagia, kamu harus tahu dulu apa arti bahagia. Dan sebelum kamu
mengerti apa artinya bahagia, kamu harus lebih dulu merasakan seperti
apa rasanya tidak bahagia”.
Apa
yang Ibu saya sampaikan ini memang terkesan terlalu sederhana,
terlebih buat orang seperti saya– yang selalu bertanya, “Apakah
tuhan beragama?”. Tapi setiap
saya ingat dan memahami perkataan Ibu saya ini, saya menemukan
sedikit pemahaman bahwa menjadi bahagia itu memang “sesederhana
itu”, dan juga “serumit itu”. Terkadang beberapa orang memilih
cara yang lebih instant untuk
bahagia dengan cara melupakan hal-hal menyakitkan, yang menurut
mereka tidak boleh dibiarkan menetap dalam ingatan karena akan
menjadi kenangan buruk yang suatu saat bisa saja kembali teringat dan
dianggap akan mengacaukan kehidupannya di saat sekarang ini.
Pastinya
situasi seperti ini menjadi sangat sulit untuk diterima karena tidak
ada satupun orang di dunia ini yang ingin merasakan ketidak bahagiaan
dalam hidupnya. Namun permasalahannya adalah bagaimana kita bisa
sebegitu yakin kalau dengan men-jamais
vu-kan
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam memori kita, maka pada nantinya
kita pasti bahagia? Bagaimana seandainya jika ternyata kenangan buruk
itu yang justru akan membawa kita mendapatkan kebahagiaan? Kita tidak
bisa menutup mata dan sebegitu naif dalam menyikapinya, karena
pada realitanya cukup banyak orang yang memilih menikahi mantan
kekasihnya– yang dulu pernah sangat menyakitinya, namun hidup
langgeng berpasangan hingga ajal menjemput salah satu dari mereka.
Cukup banyak orang yang akhirnya menemukan sahabat sejati dalam diri
musuh bebuyutannya sendiri. Cukup banyak orang seperti Bob Sadino,
yang mendapatkan kesuksesan dan hidup bahagia karena mau "belajar
untuk menjadi bodoh".
Apapun
alasannya, saya percaya bahwa kehilangan memori– baik itu hal yang
menyenangkan atau tidak, justru akan mengurangi kebahagiaan yang
kelak akan saya dapatkan pada akhirnya. Mungkin tidak perlu berkeras
dengan untuk menampik ketidak bahagiaan itu, karena terkadang hal
yang tidak menyenangkan itu membuat kita belajar untuk lebih mawas
diri dan lebih bijak dalam menyikapi sesuatu. Karena pada akhirnya
sebesar apapun hal yang menyakitkan itu, pastinya sama (atau mungkin
lebih) besar dengan kebahagiaan yang akan kita dapatkan kelak.
*
Like what Paul McCartney said, “And in the end. The love you take
is equal to the love you make”.