Kamis, 04 Oktober 2012

Jamais Vu

Sewaktu masih kuliah dulu ada salah satu dosen saya yang menjelaskan tentang delusi dan beberapa macam bentuknya yang pernah atau mungkin sering dialami oleh manusia pada umumnya. Secara sederhananya, delusi itu semacam kesalahpahaman yang terjadi dalam diri seseorang tentang apa yang diyakininya– seringnya kondisi ini juga dibarengi dengan gejala paranoid atau ketakutan yang berlebihan, dimana penderitanya merasa dibuntuti oleh sesuatu yang dianggap mengancam hidupnya. Dari apa yang dijabarkan oleh dosen saya saat itu, ada satu pembahasan menarik yang menurut dosen saya sedikit keluar konteks namun masih memiliki korelasi dengan gejala delusi itu sendiri. Sebuah fenomena otak dimana seseorang seperti mengalami pengulangan waktu atau kejadian. Kebanyakan orang menyebutya dengan Deja Vu.

Deja Vu merupakan kondisi saat seseorang merasa memiliki pengalaman tertentu tentang sesuatu yang sedang berlangsung, dimana seseorang itu seperti sudah pernah mengalami situasi tersebut jauh sebelumnya– biasanya orang tersebut merasa seolah-olah pernah mengalami peristiwa yang sedang terjadi kini atau seperti sedang mengulangi kejadian tersebut, entah itu di dalam mimpi ataupun di masa lalu. Kata dosen saya, sejalan dengan perkembangan kajian ilmu psikologi dan semacamnya ternyata pemahaman dari deja vu itu sendiri juga mengalami perkembangan, dan salah satunya adalah apa yang disebut dengan Jamais Vu.

Fenomena ini adalah bentuk lain dari deja vu, yang justru gejalanya bertolak belakang dengan fenomena deja vu itu sendiri. Jamais vu adalah kondisi dimana seseorang seperti kehilangan memori atau ingatan tentang sesuatu yang memang pernah terjadi dalam hidupnya– penggambaran fenomena ini lebih kepada keadaan dimana seseorang menerka-nerka sebuah situasi yang terlupakan, padahal jelas pernah dialaminya. Biasanya kondisi ini disebabkan oleh kelelahan otak dan ini mungkin saja terjadi pada setiap orang.

Bagi saya, fenomena jamais vu ini menarik untuk ditelaah lebih mendalam, karena bagi kebanyakan orang, pastinya akan sangat menyenangkan jika mereka mengalami fenomena jamais vukhusus untuk kejadian tidak menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidup mereka. Bukan ingin membuat kesimpulan sepihak, tapi saya melihat pada kenyataannya sehari-hari, dimana hampir sebagian besar orang berupaya untuk melupakan (atau berharap lupa) kejadian-kejadian yang mereka anggap tidak menyenangkan, agar mereka bisa merasa lebih bahagia. Kebanyakan orang berusaha keras untuk menciptakan 'jamais vu'nya sendiri dalam otak mereka, yang padahal menurut apa yang saya yakini, tidak semua hal yang menyakitkan itu akan menyebabkan ketidak bahahagiaan dalam hidup kita.

Ibu saya pernah bilang begini, ”Sebelum kamu merasakan bahagia, kamu harus tahu dulu apa arti bahagia. Dan sebelum kamu mengerti apa artinya bahagia, kamu harus lebih dulu merasakan seperti apa rasanya tidak bahagia”.

Apa yang Ibu saya sampaikan ini memang terkesan terlalu sederhana, terlebih buat orang seperti saya– yang selalu bertanya, “Apakah tuhan beragama?”. Tapi setiap saya ingat dan memahami perkataan Ibu saya ini, saya menemukan sedikit pemahaman bahwa menjadi bahagia itu memang “sesederhana itu”, dan juga “serumit itu”. Terkadang beberapa orang memilih cara yang lebih instant untuk bahagia dengan cara melupakan hal-hal menyakitkan, yang menurut mereka tidak boleh dibiarkan menetap dalam ingatan karena akan menjadi kenangan buruk yang suatu saat bisa saja kembali teringat dan dianggap akan mengacaukan kehidupannya di saat sekarang ini.

Pastinya situasi seperti ini menjadi sangat sulit untuk diterima karena tidak ada satupun orang di dunia ini yang ingin merasakan ketidak bahagiaan dalam hidupnya. Namun permasalahannya adalah bagaimana kita bisa sebegitu yakin kalau dengan men-jamais vu-kan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam memori kita, maka pada nantinya kita pasti bahagia? Bagaimana seandainya jika ternyata kenangan buruk itu yang justru akan membawa kita mendapatkan kebahagiaan? Kita tidak bisa menutup mata dan sebegitu naif dalam menyikapinya,  karena pada realitanya cukup banyak orang yang memilih menikahi mantan kekasihnya– yang dulu pernah sangat menyakitinya, namun hidup langgeng berpasangan hingga ajal menjemput salah satu dari mereka. Cukup banyak orang yang akhirnya menemukan sahabat sejati dalam diri musuh bebuyutannya sendiri. Cukup banyak orang seperti Bob Sadino, yang mendapatkan kesuksesan dan hidup bahagia karena mau "belajar untuk menjadi bodoh".

Apapun alasannya, saya percaya bahwa kehilangan memori– baik itu hal yang menyenangkan atau tidak, justru akan mengurangi kebahagiaan yang kelak akan saya dapatkan pada akhirnya. Mungkin tidak perlu berkeras dengan untuk menampik ketidak bahagiaan itu, karena terkadang hal yang tidak menyenangkan itu membuat kita belajar untuk lebih mawas diri dan lebih bijak dalam menyikapi sesuatu. Karena pada akhirnya sebesar apapun hal yang menyakitkan itu, pastinya sama (atau mungkin lebih) besar dengan kebahagiaan yang akan kita dapatkan kelak.

* Like what Paul McCartney said, “And in the end. The love you take is equal to the love you make”.
 










Selasa, 02 Oktober 2012

Interaksi

So, why do you wanna be a doctor? I want to help. I want to connect with people. A doctor interacts with people at their most vulnerable”.
~Patch Adams, 1998~

Sewaktu masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar dulu, kita sering mendengar pemahaman yang berulang kali ditanamkan oleh guru-guru kita, bahwa pada hakekatnya kita yang disebut sebagai manusia adalah mahluk sosial– yaitu mahluk yang memiliki kecenderungan untuk mencari keberadaan mahluk lain atau secara sederhananya, merupakan mahluk yang tidak dapat hidup sendirian. Saya ingat bagaimana guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) saat masih SD dulu mengajarkan kalau tanpa kita sadari keberagaman yang ada dalam kehidupan ini menciptakan sebuah ketertarikan dalam diri setiap manusia, sehingga setiap manusia ter-stimulus untuk saling mengenal satu sama lain. Dan pemahaman mengenai mahluk sosial ini pun berkembang seiring dengan perkembangan dari manusia itu sendiri.

Saya ingat kata-kata dari Aristoteles bahwa sebagai mahluk sosial, manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain (dalam kajian filasafat, ini disebut dengan zoon politicon). Bicara soal interaksi, ada yang menarik ketika saya memperhatikan bagaimana manusia saling berinteraksi di zaman sekarang ini– dimana peradaban moderen telah menciptakan sebuah dunia dalam bentuk partikel serat optik bernama internet. Dewasa ini, hampir seluruh manusia cenderung menghabiskan aktifitas sosialnya melalui fasilitas social media yang ada di dalam internet. Sebut saja Facebook, Twitter, Myspace, Thumbler, dan beberapa situs jejaring sosial lainnya yang secara nyata telah menjadi media bagi hampir sebagian besar manusia untuk berinteraksi. Cukup hanya dengan menuliskan apa yang ingin disampaikan tanpa perlu memikirkan apa dan bagaimana reaksi yang akan timbul kemudian– tentunya hal ini tidak lepas dari berlakunya kebebasan hak azasi manusia untuk bicara.

Jika kita bicara tentang interaksi, sudah pasti yang akan muncul dalam benak kita pertama kali adalah tentang komunikasi, baik itu verbal maupun non-verbal. Jujur saja saya suka sekali memperhatikan serta mengamati bagaimana seseorang berkomunikasi, entah itu cara dan gaya bicaranya, atau bahasa tubuhnya. Menurut saya setiap orang memiliki cara berkomuniksi yang berbeda-beda dan mungkin ini yang menjadikan manusia memiliki keunikan tersendiri. Saya terkesima melihat bagaimana sepasang pria dan wanita– yang mungkin sepasang kekasih atau semacamnya bisa saling berkomunikasi tanpa banyak berkata-kata, hanya saling memandang dan membagi senyum. Bagaimana sepasang suami istri yang berbicara dengan nada yang tinggi bahkan nyaris berteriak, namun tetap bertahan hidup bersama dalam satu atap. Atau yang paling mengagumkan adalah ketika melihat seorang Ibu yang harus selalu menggunakan bahasa isyarat hanya agar anaknya yang tuna rungu tahu betapa besar cinta sang Ibu kepadanya.

Selama hidup ini, kita mungkin pernah atau sering kali bertemu dengan orang-orang yang “kurang pandai” dalam berinteraksi dan biasanya mereka ini merasa diasingkan lalu memilih untuk melanggar kodratnya sebagai mahluk sosial, menolak dan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, saya sering menemukan bahwa memang kebanyakan dari kita hanya mengerti tapi kurang memahami apa itu berinteraksi. Kita sering lupa bahwa setiap orang memiliki cara berinteraksi yang berbeda-beda dan terkadang kita kurang bisa menghargai sebuah perbedaan. Bukankah karena kita perbedaan itu yang membuat kita menjadi unik? Dan bukankah keunikan itu yang menciptakan “hukum ketertarikan” diantara kita, manusia?













Jumat, 07 September 2012

Sempurna Sama Dengan Narsis, Setuju?


Setiap orang ingin terlihat sempurna – baik itu secara kualitas maupun kuantitas, yang jelas hampir tidak ada orang di dunia ini yang ingin menampakan ketidak sempurnaannya. Saya pernah membicarakan ini dengan beberapa teman tentang apa dan kenapa setiap orang begitu terobsesi dengan kesempurnaan yang padahal sudah sering kali kita diingatkan bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna – begitu yang ditulis dan diajarkan dalam kitab serta agama. Tapi kenapa kecenderungan tiap orang untuk menyangkal ketidak sempurnaan mereka begitu besar?

Teman - teman saya ini berpendapat bahwa itu dikarenakan adanya sifat – sifat narcisistic (baca : narsis) yang dimiliki oleh setiap orang. Ya mungkin saja begitu, mengingat sebagai homo sapiens sapiens (atau “manusia purba yang moderen”, terdengar aneh ya?) kita cenderung memiliki kecintaan terhadap diri sendiri. Jika begitu, apakah ini semua hanya soal narsis atau tidak? Karena kalau, apakah para perempuan yang suka berdandan agak berlebihan juga termasuk ke dalam kategori narsis? Sedangkan di satu sisi, jika mereka tidak begitu kemungkinan terbesar pasangan mereka akan berpaling kepada perempuan lain yang jauh lebih mahir berdandan? Bukan bermaksud membela kepentingan feminim, tapi dalam kondisi seperti ini, sebenarnya siapa yang memiliki andil lebih besar? Mereka yang narsis? Atau mereka yang memaksa seseorang untuk narsis?

Sejujurnya saya sendiri bukanlah orang yang terlalu narsis–setidaknya ke'narsis'an saya mungkin bukan terletak pada tampilan atau dandanan, dan pastinya juga bukan pada perilaku masturbasi atau onani (karena pada saat kuliah dulu, dosen saya pernah bilang kalau ternyata perilaku ini juga mengindikasikan gejala narcisistic. Saya sendiri masih mencari tahu soal kebenaran teori dosen saya itu). Tapi kalau ternyata bahwa anggapan beberapa teman saya ini benar, maka saya bisa beranggapan bahwa kesempurnaan yang dicari oleh kebanyakan orang bisa jadi hanya berkisar antara gincu, alas bedak, maskara, obat jerawat, facial scrub, dan (mohon maaf) sex.

Apakah ini berarti saya mendiskriminasi atau mendiskreditkan feminim? Pastinya tidak. Toh pada realitanya saat ini kita semakin sulit menentukan batas antara feminim dan maskulin, setuju?




 
This is life, not heaven. You dont have to be perfect”
~ Gia, 1998 ~


 

Kamis, 06 September 2012

Hidup itu adalah *teriakGooaalllll!!!




Ibuku selalu bilang, “Hidup itu ibarat sekotak penuh coklat. Kamu tidak akan tahu coklat seperi apa yang akan kamu dapat”
~ Forrest Gump ~

Dalam hidup ini setiap orang menjalankan kehidupannya berdasarkan perencanaan yang matang. Memang tidak pernah ada pedoman ataupun aturan yang mengatakan demikian tapi kalau diperhatikan, kebanyakan mereka yang lebih ahli atau berpengalaman menganjurkan secara tegas agar merincikan kehidupan kita ke dalam sebuah perincian yang jelas dan mendetil. Alm. Bapak saya pernah berkata begini,

kalau kamu ingin memiliki kesuksesan di masa depan, maka kamu harus memiliki perencanaan yang bagus dan terperinci sebagai pedoman kamu untuk menentukan langkah mendapatkan kesuksesan itu”

Jika ditelaah, sebenarnya apa yang di tanamkan generasi sebelum kita–mengenai perencanaan ini, sangat masuk akal karena ketika seseorang membuat suatu perencanaan untuk hidupnya, secara sadar atau tidak, seseorang tersebut telah menciptakan beberapa achievment atau pencapaian yang didasari oleh orientasi serta tujuan hidupnya beberapa tahun mendatang. Namun kadang saya berpikir, apakah memang hidup itu harus selalu terencana? Atau apakah setiap orang tahu dengan pasti apa yang telah mereka rencanakan untuk hidup mereka sendiri?

Saya melihat pada kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sekitar, tentang mereka yang menurut saya memiliki perencanaan hidup yang hebat–lulus kuliah S1 di usia 25 tahun, bekerja, menikah diumur 27 atau 28 tahun, setahun kemudian punya anak dan naik jabatan di kantor, berinvestasi diusia sekitar 30 tahun (baik itu tanah, logam mulia, ataupun deposito). Dan realita yang terjadi, mereka mendapatkan gelar sarjana saat berumur 27 tahun. Mereka punya pekerjaan dan karir yang meningkat. Punya rumah dan deposito (tapi tidak logam mulia) diusia 35 tahun, dan belum menikah.

Menurut saya hal ini menjadi menarik untuk dipelajari, bagaimana seseorang menjalani sebuah proses dari apa yang telah mereka rencanakan untuk masa depan mereka. Tentang bagaimana kehidupan mereka menjadi begitu terikat sampai – sampai mereka tidak memiliki waktu untuk menikmati kehidupan yang mereka miliki. Sepanjang waktu mereka terus berkutat dengan pencapaian dan target yang ingin diraih dengan dalih demi masa depan yang jauh lebih baik–yang kalau saya pikir, bagaimana mungkin mereka tahu apa itu kehidupan yang lebih baik sedangkan mereka tidak pernah tahu kehidupan seperti apa yang sedang mereka jalani saat ini.

Lalu bagaimana dengan saya? Pastinya saya punya rencana, sekalipun tidak satupun yang sifatnya konkrit dan jelas. Karena mungkin pada dasarnya apa yang menjadi tujuan dan orientasi hidup saya terlalu simpel dan “kurang muluk”. Jika kebanyakan orang–mungkin juga Anda termasuk salah satunya–menganggap saya munafik, aneh, krik atau semacamnya, saya sangat maklum mengingat di zaman global seperti sekarang ini “menjadi bahagia” bukan lagi tujuan atau orientasi dari sebuah kehidupan.

Lalu bagaimana dengan tujuan hidup Anda??




















Rabu, 15 Agustus 2012

Tidak Terang - Terangan


Dalam hidup ini, beberapa orang memilih untuk tidak menunjukan secara terang - terangan apa yang mereka rasakan ketika merasakan, mengalami, atau menghadapi realita hidup yang dijalani. Beberapa dari mereka lebih suka untuk tidak bereaksi ketika merasakan sesuatu, baik itu sedih, susah, senang, ataupun bahagia.

Sejujurnya saya pernah mengalami keadaan seperti itu, bahkan mungkin masih sering mengalaminya sampai dengan saat ini. Menurut saya, ketika berhadapan dengan beberapa kondisi tertentu terkadang kita memiliki ketidakleluasaan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin kita ungkapkan karena adanya anggapan negatif atau pesimis dalam diri sendiri yang menekankan bahwa sebaiknya hal tersebut tidak perlu kita sampaikan karena ketakutan akan munculnya sebuah konflik maupun polemik dalam kehidupan kita. Ini semua pastinya bisa menjadi sangat subyektif mengingat bahwa persepsi seperti ini hanya berlaku bagi orang – orang yang memang sulit mengungkapkan apa yang ingin mereka ungkapkan dan sekali lagi ini hanya berlaku bagi sebagian orang.

Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang teman membicarakan tentang kenapa beberapa orang tersebut, termasuk saya, membuat pilihan seperti itu. Sebuah pertanyaan klise yang mudah namun sulit untuk dijawab,

kenapa takut? Bagaimana bisa tahu hasilnya bisa merugikan banyak pihak sedangkan hal tersebut tidak pernah disampaikan? Tiap orang berhak tahu apa yang orang lain pikirkan dan rasakan mengenai dirinya.”

Pertanyaan teman saya itu sulit untuk saya bantah karena bagaimanapun apa yang dia pertanyakan sangat masuk akal dan memang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Sebagai mahluk, kita cenderung hidup berkoloni yang pastinya akan saling bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai mahluk hidup yang bernama manusia, kita saling terhubung satu sama lain dan seandainya tiap orang menyembunyikan persaannya terhadap orang lain, bukankah itu akan semakin sulit untuk menciptakan sebuah hubungan yang baik antara satu dengan yang lain?

Sulit bagi saya untuk menjabarkan secara detail mengenai hal ini karena bagaimanapun teman saya dan sebagian lainnya di luar sana tidak mengalami kompleksitas serta konflik bathin yang dialami oleh orang – orang seperti saya ketika dihadapkan pada situasi seperti itu. Bukan berarti tidak berusaha jujur pada diri sendiri namun sekali lagi, dalam beberapa kondisi dan situasi, kejujuran dianggap akan memicu timbulnya konflik sehingga kebohongan serta konsep manipulasi merupakan pilihan bijak demi kebaikan bersama. Dan pada akhirnya, ketulusan untuk hanya sekedar mengamati dari kejauhan, tanpa disadari menjadi sumber kekuatan lain untuk orang seperti saya dalam menjalani kehidupan.












      

Jumat, 10 Agustus 2012

Pulang kampung


Tanpa terasa bulan Ramadhan akan segera berakhir dan sampailah kita semua pada hari raya, sebuah “hari kemenangan” yang dimaknai dengan kembalinya fitrah yang suci dimana setiap jiwa manusia dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan, seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Quran.

Sejak pertama kali saya mengerti dan menjalani puasa, saya sering bertanya kepada Ibu dan Almarhum Nenek saya tentang kenapa harus ketupat dan opor ayam? Kenapa bukan mie goreng cah jamur? Saya lebih suka mie goreng cah jamur. Lalu saya juga sering bertanya kenapa harus kolak? Kenapa bukan es blewah? Saya lebih suka es blewah tanpa susu. Saya kurang menyukai kolak karena aneh rasanya kalau santan dicampur dengan yang sesuatu manis. Kenapa harus baju baru? Baju baru saya yang tahun lalu bahkan masih sangat bagus dan layak untuk digunakan sampai beberapa tahun lagi. Dan pertanyaan – pertanyaan konyol lainnya dari saya, anak umur enam tahun yang perlahan beranjak remaja dan mulai mengerti kenapa mereka, orang – orang dewasa yang memakai seragam, kemeja, atau dasi begitu mengharapkan adanya tunjangan hari raya.

Dari begitu banyak hal yang saya pertanyakan, ada satu yang paling menarik dari kebiasaan atau budaya ketika menjelang hari raya, yaitu “mudik” yang berarti kembali mengunjungi tanah kelahiran dan leluhur, atau yang sering kita sebut dengan “pulang kampung”. Ada begitu banyak pertanyaan dalam diri saya mengenai kebiasaan “pulang kampung” ini. Secara umumnya, mereka yang “mudik” atau “pulang kampung” memiliki keinginan untuk merayakan hari raya di kampung halaman, sambil mengunjungi atau ziarah ke makam orang tua mereka. Mereka begitu men-sakral-kan tradisi “mudik” ini, mengingat hal ini mungkin hanya bisa dilakukan setahun sekali. Dan ini yang menarik bagi saya, atau lebih tepatnya menggelikan mengingat hanya setahun sekali mereka mengunjungi orang tua, baik itu yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Timbul pertanyaan – pertanyaan konyol dalam kepala saya. Jika ini telah mejadi sebuah budaya atau tradisi, maka saya beranggapan bahwa ini adalah budaya atau tradisi yang sangat menyedihkan. Apa memang semudah dan semurah itu nilai dari pemahaman tentang hari raya itu sendiri? Bahwa hari raya itu hanya ajang kumpul – kumpul keluarga besar yang lama sudah tidak berkumpul? Atau sebagai ajang silaturahmi kita kepada orang tua yang dilakukan setahun sekali hanya karena kesibukan kita di luar bulan Ramadhan dan hari raya?



Selasa, 31 Juli 2012

Saling Memperhatikan

Apa anda percaya dengan banyaknya teori tentang “manusia adalah mahluk sosial” yang sudah ditanamkan dalam diri kita sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar dulu? Teorinya adalah manusia merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran manusia lain untuk mempertahankan eksistensi kehidupan, atau dengan kata lain, bahwa pada dasarnya ada semacam keterikatan atau ketertarikan yang terjadi diantara manusia satu dengan yang lainnya dan disadari ataupun tidak ternyata keterikatan seringnya dimulai dengan apa yang dinamakan perhatian.

Perhatian atau atensi adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar mengenai sejumlah informasi yang ada. Menurut Sternberg R.J, proses atensi ini dianggap dapat membantu efesiensi penggunaan kemampuan mental dan kecepatan reaksi terhadap suatu rangsang.

Tapi kalau saya lihat pada realitanya, perilaku - perilaku yang muncul mengenai permasalahan “atensi” dan “perhatian” ini justru menimbulkan paradoks baru di tengah peradaban masyarakat.

Mungkin kebanyakan dari kita tidak sadar dengan beberapa perilaku tersebut. Misalnya, kecenderungan dimana pada umumnya kita sebagai manusia lebih suka memperhatikan orang lain yang memang ingin kita perhatikan, dan seringnya tidak memperhatikan orang lain yang memperhatikan kita. Menariknya adalah kalau kita pikir lagi, apakah mereka orang – orang yang memang ingin kita perhatikan itu juga memperhatikan kita? Padahal secara jelas ada orang – orang yang selalu memperhatikan kita hanya saja kita terlalu sibuk sehingga kita sering “melewatkan” keberadaan mereka, orang – orang yang memperhatikan kita.

Selain itu kecenderungan dimana banyaknya manusia yang memperhatikan orang lain dikarenakan adanya suatu kepentingan, baik kepentingan commercial, pribadi ataupun golongan. Seringnya kita sebagai manusia melakukan hubungan dengan manusia lain dikarenakan adanya maksud – maksud tertentu, seperti beberapa calon “pembesar” di negara ini yang begitu memperhatikan para rakyat miskin saat mereka dalam masa kampanye. Selepas mereka terpilih, perhatian mereka mendadak menghilang.

Beberapa hal semacam ini telah menjadi budaya baru dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini. Di satu sisi cukup menarik, namun di sisi lain sangat mengkhawatirkan jika seandainya pemahaman ini terus berkembang dan perlahan menggeser nilai moral serta hakekat dari keberadaan kita sendiri, mahluk sosial yang bernama manusia.



Senin, 23 Juli 2012

#HariAnakNasional


"You can learn many things from children. How much patience you have, for instance".
~Franklin P. Jones~


Hari ini, tepat tanggal 23 Juli 2012, bangsa kita memperingatinya sebagai Hari Anak Nasional. Sebenarnya perayaan Hari Anak Nasional di setiap negara berbeda – beda namun perayaan hari anak pertama kali dilakukan oleh salah satu organisasi bangsa yang mengurus dan memperhatikan kesejahteraan anak – anak di seluruh belahan dunia, UNICEF pada bulan Oktober 1953 dan sejak tahun 1954, PBB atau Perserikatan Bangsa – Bangsa menetapkan bahwa Hari Anak Sedunia jatuh pada tanggal 20 November.

Pada perjalanannya dari tahun 1954 sampai dengan saat ini, masalah dan problematika yang terjadi pada keadaan anak - anak di tiap negara, perlahan telah menjadi salah satu isu utama yang sering kali diperbincangkan oleh sebagian besar masyarakat, terlebih bagi mereka para pemerhati anak, lingkungan hidup, sosial dan budaya serta pendidikan di seluruh belahan dunia. Sebut saja, isu perdagangan manusia yang ternyata cukup banyak menjadikan anak sebagai korban. Lalu masalah eksploitasi anak, dimana anak dipaksa untuk menjadi komoditi atau penopang kesejahteraan keluarga, serta yang paling klise, terutama di negeri kita ini yaitu pendidikan dan kesehatan yang secara kasat telah meng”kambing-hitam”kan kemiskinan sebagai alasan utamanya.

Melihat apa yang terjadi pada dunia anak – anak, terutama di Indonesia, terkesan masih sangat jauh dari kata baik. Masalah keadaan anak – anak di Indonesia yang setiap tahunnya seperti terus bertambah yang padahal telah begitu banyak orang – orang yang peduli terhadap keadaan ini, sebut saja Komnas Perlindungan Anak Indoneisa (KPAI) dan pastinya aparat negara yang tergabung dalam Departemen Sosial nampaknya tidaklah cukup untuk mengtasi masalh ini.

Jika meneliti sedikit apa seperti apa masalah yang terjadi pada lingkungan anak di Indonesia, maka akan kita lihat bersama begitu banyak fenomena yang ada, mulai dari anak jalanan dan terlantar, anak - anak yang putus sekolah, anak – anak yang menjadi korban kekerasan, baik di luar maupun di dalam rumah tangga, Narkoba, serta yang paling menyedihkan adalah perdagangan manusia dan pelacuran, yang mana anak – anak dan perempuan adalah korban utamanya.

Menurut Education For All Global Monitoring Report yang diterbitkan oleh UNESCO pada tahun 2011 lalu menyatakan bahwa Negara Indonesia berada pada peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index, yang artinya bahwa karena tingginya jumlah yang putus sekolah menyebabkan rendahnya pembangunan negara. Belum lagi masalah anak jalanan yang selama tiga tahun belakangan ini terus meningkat angka pertumbuhannya. Dinas Sosial DKI Jakarta mengkalkulasikan bahwa pada tahun 2009 terdapat 3.724 anak jalanan, dan bertambah jumlahnya pada tahun 2010 menjadi 5.650 anak jalanan, dan berdasarkan data terakhir, tahun 2011 jumlahnya terus bertambah menjadi 7.315 anak jalanan. Jumlah ini termasuk berbagai profesi anak jalanan, mulai dari pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1 dan tukang parkir.

Meningkatnya berbagai permasalahan pengabaian dan pelanggaran dari hak anak – anak terus terjadi di negeri kita ini. Ini tampak jelas dimana telah terjadi 2.386 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2011, yang mana angka ini meningkat 98 persen jika dibandingkan dengan kasus - kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi tahun 2012, yaitu sebanyak 1.234 kasus.

Absennya pemerintah terhadap penanggulangan masalah ini dianggap menjadi penyebab utama mengapa masalah pelanggaran hak asasi terhadap anak terus bertambah dan meningkat. Pemerintah dinilai telah gagal untuk melindungi anak – anak yang notabenenya juga termasuk dalam warga Indonesia yang hak dan kepentingannya justru harus lebih dilindungi karena hanya pada anak – anak ini, regenerasi peradaban bangsa yang lebih baik dapat kita wujudkan demi kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.


Kamis, 19 Juli 2012

Kita Bebas Memilih, "Asalkan"..


Beberapa tahun belakangan ini banyak sekali orang yang berbicara tentang kebebasan, baik itu yang bersifat hak asasi maupun tanggung jawab moral dari peradaban yang sedang mereka jalani saat ini. Berbagai hal, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama, semua dikaitkan dengan prinsip – prinsip kebebasan yang pada kenyataannya, pemahaman kebebasan itu justru menimbulkan begitu banyak konflik, baik antar sesama manusia maupun internal dari manusia itu sendiri.


Dalam pemahaman harafiahnya, kebebasan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dapat bertindak sesuai dengan keinginan atau kehendaknya. Dalam salah satu karyanya, On Liberty, John Stuart Mill mennyatakan bahwa kebebasan diartikan dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu kebebasan dalam bertindak dan kebebasan dari adanya tekanan. Hal ini menjadi sangat menarik untuk diamati karena paham kebebasan yang telah menjadi fundamental ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat, terutama masyarakat Indonesia sekarang ini.


Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia telah banyak “membuka diri” terhadap modernisasi sekarang ini. Mulai dari emansipasi perempuan, eksploitasi anak di bawah umur, hingga kebebasan untuk beribadah dan beragama. Semua ini didasari atas pemenuhan hak dari setiap warga negara, baik pria, wanita, tua, muda, relijius, maupun atheis. Namun pada pelaksanaannya, kebebasan justru menimbulkan banyak pertentangan dan silang pendapat yang berakhir pada perilaku masyarakat yang cenderung agresif dan anarkis.


Pada zaman moderen ini, kaum perempuan dinilai mendapat begitu banyak kebebasan untuk mengatur masa depan mereka dimana pemahaman konservatif para perempuan yang hidup di zaman “Siti Nurbaya” telah mengalami revolusi ideologi dan cara pikir yang lebih maju. Salah satunya adalah adanya kebebasan bagi perempuan untuk menentukan dan memilih pria mana atau seperti apa yang kelak akan menjadi pendamping hidup mereka. Kebebasan juga dianggap memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak – anak di bawah umur untuk merancang masa depan mereka, dengan diberlakukannya sistem kurikulum berbasis minat dan bakat di setiap sekolah dan instansi atau lembaga pendidikan.


Namun sekali lagi, pemikiran – pemikiran besar tersebut justru berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak orang. Kebebasan untuk bertindak, menentukan atau memilih hanya berlaku ketika kita memang memiliki beberapa pilihan atau opsi. Perempuan boleh menentukan atau memilih pria mana yang akan menjadi pasangan hidup, “asalkan” pria tersebut mapan, berkecukupan, baik, dewasa, bertanggung jawab, dapat menjadi imam bagi keluarga, dan sebagainya. Anak – anak bisa memilih pelajaran apa yang mereka sukai berdasarkan bakat dan minat yang mereka miliki, “asalkan” sesuai dengan keinginan kedua orang tua mereka.


Mungkin terkesan sepihak karena kebebasan kini diartikan dalam banyak pemahaman yang justru membuat makna dari kebebasan itu sendiri menjadi rancu. Sering kali mereka yang memiliki ke”bijak”sanaan berlebih menengahi perdebatan ini melalui pandangan mereka yang menyatakan bahwa,
seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu selama tidak merugikan hak – hak orang lain serta tetap menjalankan kewajibannya sebagai manusia”.
Tapi tetap saja, pandangan ini tidaklah memberikan jalan keluar atas pertentangan tentang pelaksanaan kebebasan yang terjadi diantara manusia sekarang ini karena secara kasat, ketika berbicara perihal kebebasan, manusia cenderung melihat hal tersebut sebagai batasan.


Selasa, 03 Juli 2012

Karena Kita Ingin Eksis..

Di masa depan, setiap orang bisa menjadi terkenal di seluruh dunia hanya dengan lima belas menit”.
~ Andy Warhol ~

Sudah menjadi tujuan dari tiap mahluk hidup yang bernama manusia untuk meng-aktualisasikan dirinya dengan sebaik mungkin demi mendapatkan berbagai pencapaian terbaik dalam kehidupannya. Hal ini begitu tergambar dalam catatan sejarah peradaban dunia, dimana begitu banyak nama – nama besar yang telah membuat begitu banyak perubahan demi eksistensi atau kelangsungan hidup manusia.

Secara harafiah, eksistensi memiliki arti keberadaan atau suatu perihal yang memang ada. Para filsuf menyatakan bahwa eksistensi berpusat pada manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar (Eksistensialisme). Benar adanya jika eksistensi telah menjadi tujuan utama dari apa yang kita sebut dengan peradaban karena pastinya setiap mahluk hidup akan berupaya untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan hidup mereka.



Pada era global seperti ini, banyak orang yang menunjukan keberadaan dirinya dengan melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan yang justru pada kenyataannya telah menggeser esensi dari nilai serta norma yang berlaku selama ini dan tanpa sadar, mereka mengartikannya dengan pemahaman baru yang dianggap lebih moderen serta fleksibel. Efek domino yang kuat menyebabkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau bahkan lebih tepatnya, saling mendominasi diantara perkembangan zaman dan eksistensi yang menyebabkan begitu banyak manusia menciptakan pola -pola baru atau mainstream yang tidak memiliki keterikatan satu sama lain, maka bukanlah suatu pemandangan baru jika begitu banyak manusia yang memilih menjalani hidup menurut aturan mainstream-nya sendiri – sendiri.


Eksistensi pada umumnya akan mendatangkan penghargaan diri bagi individu yang memperjuangkannya. Dalam kajian psikologi, Abraham Maslow menyatakan bahwa penghargaan diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap manusia (Needs of Hierarchy)”.


Pada kenyataannya sekarang ini, eksistensi itu sendiri telah diartikan dengan pemahaman lain yang dimana pemahaman ini dianggap telah melunturkan nilai – nilai moralitas serta norma oleh orang – orang terdahulu yang sebenarnya sudah lebih dulu “eksis” dibandingkan dengan orang – orang dengan paham moderen di masa sekarang ini. Pada era terdahulu yang cenderung mengarah pada pola konservatif, eksistensi manusia lebih ditekankan pada penanaman budi pekerti dengan pengharapan akan lahirnya generasi yang memiliki nilai – nilai suri tauladan bagi sesamanya. Namun seiring perkembangannya, perspektif manusia moderen menganggap bahwa pemahaman seperti itu sudah tidak layak lagi untuk diaktualisasikan. Pada tatanan masyarakat moderen, eksistensi lebih menekankan prinsip – prinsip individualisme yang secara harafiahnya dapat diartikan bahwa sekarang ini eksistensi manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama.

Teramat sulit bagi masyarakat awam untuk menyikapi masalah ini karena ke-berpihak-an bukan solusi terbaik yang harus kita ambil, namun perlu adanya ke-bijaksana-an dari cara pandang dan berpikir dari kita semua mengenai pertentangan ini sebab bagaimanapun, fenomena eksistensi ini akan berakibat pada lahirnya generasi baru di masa mendatang yang kehilangan jati diri hanya dikarenakan tidak paham bagaimana mereka harus menunjukan esksitensi diri mereka.

Jumat, 11 Mei 2012

Apakah ini yang disebut Kebebasan ?



A person may cause evil to others not only by his actions but by his inaction, and in either case he is justly accountable to them for the injury.” 
~John Stuart Mill~


Apa arti kebebasan? Pertanyaan ini sering kali berkutat dalam pikiran saya. Ada yang mengartikannya secara harafiahnya saja dan ada juga yang mengartikannya secara konseptual dan teoritis. Sejujurnya, pemahaman tentang kebebasan telah menjadi ganjalan tersendiri dalam kehidupan pribadi saya karena pada kenyataannya, prinsip serta nilai yang terkandung dalam pengertian kebebasan justru terkesan bertolak belakang dengan makna dari kebebasan itu sendiri. Contoh yang mungkin paling sering kita jumpai adalah mereka yang menganut azas “kebebasan yang bertanggung jawab”, yang dalam secara realitanya apa mungkin seseorang yang diberi kebebasan akan memiliki kecenderungan untuk bertanggung jawab?

Jika diartikan secara harafiah, kebebasan berarti keadaan dimana tidak adanya larangan. Dalam kajian ilmu bahasa, kebebasan diartikan menurut kata dasarnya, yaitu bebas. Bebas merupakan suatu kondisi yang terlepas atau tanpa penghalang. Tidak terbatas atau terikat pada sesuatu, keadaan yang merdeka.

John Stuart Mill dalam karyanya, On Liberty, membagi kebebasan menjadi dua, yaitu kebebasan bertindak dan kebebasan dari paksaan. Secara hakekat kehidupannya, kebebasan adalah perbuatan yang bukan didasari oleh kemauan individu yang tanpa kontrol atau batasan. Dalam pemahamannya, John Stuart Mill tidak menekankan keadaan yang bebas sebagai pengendalian kuat atas kemauan individu maupun tatanan sosial untuk melakukan kehendak.

Menurut pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat, kebebasan kerap kali dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai penegakan hak azasi. Padahal kalau saya perhatikan, kebanyakan pelanggaran hak azasi justru dilakukan oleh mereka yang menciptakan dasar – dasar hak azasi itu sendiri. Penerapan dari kebebasan tiap individu yang hidup diatur berdasarkan sistem – sistem serta pasal yang justru mengikat dan absolut. Saya sering mendengar norma yang berlaku di masyarakat bahwa “setiap orang berhak melakukan apa yang ia kehendaki selama hal tersebut tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan orang lain”. Saya berpikir keras mengenai pemahaman ini, bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang saya kehendaki tanpa menyentuh kepentingan orang lain? Sedangkan pada hakekatnya, saya adalah mahluk sosial, yang berarti dalam kondisi apapun akan selalu connect atau terhubung dengan mahluk sosial lainnya.

Saya lebih menyepakati apa yang menjadi pemahaman John Stuart Mill tentang kebebasan, yaitu kebebasan merupakan sikap untuk memilih tidak terikat pada nilai dan prinsip yang mengekang. Selalu terbuka terhadap hal baru, namun tidak menerimanya secara mentah. Sikap untuk tidak terikat pada persepsi sepihak, stigma, serta asumsi “asal” sehingga tiap orang bisa dengan leluasa untuk menerima dan mencerna suatu pandangan, dan leluasa juga untuk mengutarakan apa yang telah dicernanya tersebut. Dengan kata lain, kebebasan sejatinya bermula dari bagaimana seseorang itu berpikir dan mengaktualisasikan pikirannya tersebut. Saya rasa akan sangat sia – sia apabila setiap orang diberi kebebasan untuk bertindak hanya berdasarkan apa yang dikehendaki, tapi tidak boleh bertindak berdasarkan apa yang dipikirkan.





Sumber :
http://www.bartleby.com/130
Mill, John Stuart. 1869. On Liberty
http://id.wikipedia.org



Kamis, 10 Mei 2012

Untuk Pertama kalinya...


She's all laid up in bed with a broken heart,
While I'm drinking jack all alone in my local bar,
And we don't know how,
How we got into this mad situation,
Only doing things out of frustration”
~For The First Time, The Script~

Kalimat ini adalah lirik di bait awal lagu For The First Time milik The Script, band pendatang baru yang menurut saya memiliki musik yang cukup menarik, terlebih dalam penulisan lirik – lirik lagunya. Khusus untuk lagu For The First Time ini, saya mengacungi jempol kepada sang vokalis dan penulis lagu, Danny O'Donoghue, karena menurut saya di lagu ini ia mampu membuat liriknya bercerita dengan sangat realistis. Danny O'Donoghue mampu menuliskan gambaran nyata dari kehidupan banyak orang, dimana mereka harus menghadapi masalah dalam menjalani hubungan dengan pasangannya, baik yang masih dalam status pacaran maupun pernikahan.

Apa yang saya tulis ini bukanlah sebuah ulasan, review, atau sejenisnya, melainkan hanya mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh Danny O'Donoghue melalui lirik yang ditulisnya.

Dalam lagu ini, Danny O'Donoghue bercerita tentang bagaimana setiap orang yang memiliki pasangan harus menghadapi situasi yang kompleks, dimana keadaan tersebut dirasa akan sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa yang akan datang dan mereka tidak tahu atau tidak pernah membayangkan kalau mereka bisa mengalami situasi seperti itu. Menurut saya apa yang tertulis dalam lirik lagu ini sangat menggambarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan. Pada realitanya, saya sering kali menemukan pasangan kekasih ataupun suami – istri terjebak dalam situasi yang sulit dan mereka merasa tidak mampu menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang mereka hadapi.

Saya ingat masa kuliah dulu, ketika salah satu dosen saya menyatakan bahwa konsep pernikahan dalam tatanan masyarakat moderen telah mengalami banyak sekali pergeseran makna sehingga pemahamannya pun menjadi kabur dan terkesan bersinggungan nilai – nilai normatif yang telah ada jauh sebelum moderenisasi berkembang. Menurut dosen saya, faktor utama dari fenomena ini adalah banyaknya orang yang salah kaprah tentang dasar atau fondasi dari pernikahan itu sendiri, yaitu cinta.

Erich Fromm dalam bukunya, The Art of Loving, mengatakan bahwa cinta adalah jawaban dari permasalahan eksistensial manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia sering kali dihadapkan pada permasalahan tentang keterpisahannya dengan lingkungan, yaitu kesendirian. Secara lebih mendalam, Eric Fromm mencoba memahami pemahaman tentang “manusia sebagai mahluk sosial”, yaitu kebutuhan untuk selalu berhubungan dengan manusia lain untuk mempertahankan eksistensinya. Ia menyatakan cinta sebagai bentuk perilaku atau aktivitas yang menekankan pada prinsip kebebasan hakiki dari manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Eric Fromm menekankan bahwa cinta bukan hanya sekedar keterikatan hubungan namun lebih kepada orientasi dari karakter seorang manusia untuk dapat menjalin sebuah hubungan dengan manusia lain.

Apa yang disampaikan oleh dosen saya itu ada benarnya karena jika melihat realita yang terjadi mengingat masih banyaknya persepsi yang salah pada masyarakat tentang konsep cinta. Kebanayakan dari mereka mengartikan cinta sebagai kepemilikan mutlak atas diri seseorang yang mereka cintai tanpa adanya timbal balik atau keinginan untuk memahami kebutuhan yang diharapkan orang yang mereka cintai. Ketika pemenuhan ego yang sepihak itu telah terpenuhi maka ego yang lain akan menuntut untuk mendapatkan pemenuhan yang setimpal dan jika pemenuhan ini tidak dipenuhi maka akan muncul berbagai macam distorsi yang berujung pada rasa ingin saling menyakiti satu sama lain. Pada situasi inilah kecederungan untuk masing – masing ego “menyerah” meningkat, yaitu situasi dimana mereka berpikir untuk saling meninggalkan.

Bagi setiap pasangan yang dihadapkan pada situasi seperti ini, tidak terpenuhinya tuntutan dari ego masing – masing membuat mereka melupakan beberapa hal mendasar dari apa yang Eric Fromm sebut dengan cinta. Dari apa yang ditekankan oleh Eric Fromm, secara jelas telah memberikan penjabaran tentang cinta itu sendiri. Pada dasarnya ketika seorang manusia mencintai manusia lain maka secara sadar ataupun tidak, manuisa tersebut telah mengorientasikan atau membuat arah tujuan dari hubungan yang akan dijalain dengan manusia lain yang dicintainya itu.

Mungkin bagi kebanyakan orang, konsepsi tentang cinta terkesan terlalu berlebihan sehingga mereka enggan untuk membicarakannya secara lebih mendalam. Menurut dosen saya, persepsi – persepsi dangkal seperti inilah yang mengakibatkan banyak manusia yang mengalami retard atau kemunduran sehingga mereka mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan dengan orang yang telah mereka tanamkan harapan.

Dan mungkin ada benarnya jika melirik pada apa yang ditulis oleh Danny O'Donoghue ini, dimana kebanyakan orang yang sedang menghadapi permasalahan yang rumit dengan pasangannya, mereka cenderung berpikir dan melakukan sesuatu hanya berdasarkan rasa kecewanya saja sehingga mereka lupa tentang beberapa hal mendasar dari apa yang telah mereka “orientasikan” dari hubungan mereka ini ketika perasaan mereka bertemu untuk pertama kalinya.









Sumber :
The Art of Loving – Erich Fromm
http://shnajitama.wordpress.com/2012/02/12/teori-cinta-erich-fromm
http://www.thescriptmusic.com


Jumat, 09 Maret 2012

Kemajuan Zaman Berati Sama Dengan Era Kompetisi

“Di abad 21 ini, akan berlangsung pertarungan antara mereka yang mapan dengan yang sedang bangkit, antara pemeluk masa lalu dengan pencerah masa depan, dan antara hirarki pengalaman dengan hirarki imajinasi”, Gary Hamel.


Selamat datang di era globalisasi, sebuah zaman dimana semua orang bersaing untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari yang sudah mereka miliki saat ini. Dalam budaya yang lebih populer, zaman ini disebut sebagai era kompetisi. Saya jadi teringat perkataan seorang sahabat yang tentang fenomena yang terjadi di era persaingan ini.

Gila ya, jaman sekarang semua hal dilakukan secara kompetisi. Liat aja di TV, mulai dari adu wawasan, pengetahuan, ide, ketangkasan, sampai ke urusan masak. Jangan-jangan beberapa waktu mendatang, bernafas juga di kompetisiin lagi?

Di zaman sekarang ini, semua orang menginginkan yang terbaik dari yang terbaik dan tanpa disadari alasan seperti ini dijadikan sebuah tuntutan demi kemajuan dari waktu ke waktu. Ironis? Bisa jadi, mengingat leluhur-leluhur kita terdahulu yang bisa menciptakan begitu banyak kemajuan tanpa adanya kompetisi. Buktinya, zaman dulu tidak ada kompetisi membuat alat transportasi air tapi nenek moyang kita terkenal sebagai pelaut handal yang nama besarnya terdengar hampir ke seluruh daratan Eropa barat maupun timur.

Terkadang saya berpikir apakah dengan berkompetisi berarti kita akan selalu mendapatkan yang terbaik? Pada kenyataannya, kompetisi lebih sering menimbulkan konflik, sekali pun dalam skala yang kecil karena sudah menjadi rahasia umum kalau kita sebagai manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan seuatu yang negatif dibandingkan yang positif. Maka jangan heran kalau sering kita jumpai para tokoh yang saling berselisih paham dan saling tuding ketika mereka berkompetisi untuk memenangkan ideologi mereka masing-masing.

Tanpa sadar, mungkin kita sering bertanya-tanya mengenai hal ini karena bagaimanapun kita juga termasuk di dalam era yang penuh persaingan ini. Pastinya kita tidak ingin terjebak di dalam sebuah konflik yang disebabkan oleh suatu kompetisi atau persaingan. Mungkin ada baiknya kalau kita mengkaji ulang tentang filosofi dari “bersaing secara sehat” karena kalau melihat realita yang ada hari ini masih banyak diantara kita yang kurang paham tentang bagaimana bersaing secara sehat.




Jumat, 20 Januari 2012

Emosi Itu Ibarat Sistem Kekebalan Hidup

Ternyata betul apa yang pernah dikatakan salah satu dosen saya sewaktu masih kuliah dulu, bahwa emosi itu merupakan salah satu hal yang menarik dalam aspek psikologi manusia. Saya ingat waktu itu, dosen saya menyampaikan perspektifnya yang sedikit melawan mainstream yang berlaku dalam dunia psikologi. Dosen saya berpendapat kalau emosi adalah suatu sistem imune atau “kekebalan hidup” dalam tubuh manusia. Ibarat kondisi fsik manusia, sehat atau tidaknya seseorang tergantung dari sistem kekebalan tubuh yang ia miliki maka begitu juga penggambaran dari hubungan emosi dengan kehidupan manusia, dimana kualitas hidup manusia tergantung dari bagaimana sistem “kekebalan hidup” yang dimiliki oleh manusia tersebut.

Kalau ditelaah sesaat, mungkin sudut pandang dosen saya itu terlalu janggal dan kurang relevan. Tapi saya mencoba melihat lebih dalam lagi, bahwa pada kenyataannya kondisi emosional kita sebagai manusia memang memiliki kontrol yang cukup kuat terhadap perilaku kita sehari – hari (mengingat kita sebagai manusia mempunyai sistem afeksi atau perasaan yang cukup banyak mengandung muatan emosional).

Kemarin salah satu teman perempuan saya mengalami fluktuasi emosi yang cukup hebat. Teman perempuan saya itu berusaha menahan tangis karena mendapat tekanan dari orang – orang yang ada disekitarnya. Hal ini juga terjadi pada teman perempuan saya yang lain, dimana teman perempuan saya yang lain ini mengalami permasalahan dengan pasangannya karena kondisi emosionalnya yang sedang tidak baik. Dan kejadian dari teman perempuan saya ini semakin bertambah rumit karena mereka sedang mengalami masa menstruasi. Beberapa teman saya juga sering mengalami permasalahan dalam hidupnya dikarenakan kondisi emosional dirinya yang sedang tidak baik. Kebanyakan dari teman saya ini sering mengalami kendala dalam berkomunikasi dengan orang hanya karena emosi mereka yang mudah sekali terpancing atau tersulut.

Saya ingat teori dari psikolog, Daniel Goleman yang mengatakan bahwa emosi itu merujuk pada suatu perasaan dan pemikiran yang khas. Suatu keadaan biologis dan psikologis serta kecenderungan untuk bertindak. Dengan kata lain, emosi memberikan dorongan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Berdasarkan hal ini, maka saya rasa ada benarnya sudut pandang dari dosen saya itu.

Mungkin akan terdengar naif jika saya mengatakan kalau apa yang terjadi pada teman – teman saya itu salah atau benar karena pada dasarnya tidak ada batasan nilai yang berlaku untuk menentukan apakah perilaku mereka itu sepenuhnya salah. Sesuatu yang bersifat emosional itu pastinya sangat manusiawi, mengingat bahwa manusia itu cenderung dinamis, baik secara progress maupun regress. Jika memang ada ukuran yang dapat menentukan apakah perilaku seseorang itu benar atau salah, menurut saya , ukuran tersebut hanya bersifat tentative atau tergantung pada situasi dan kondisi saat perilaku itu terjadi.

Memang apa yang saya tulis ini terkesan dangkal dan sepihak sebab sekali lagi, terlalu banyak persepsi yang sudah terlanjur berkembang jauh sebelum para ahli menemukan pemahaman – pemahaman yang valid mengenai emosi. Dan selama banyaknya persepsi tentang emosi ini, saya dan Anda semua yang membaca tulisan saya ini bisa lebih bijak dalam menggunakan emosi dalam kehidupan kita sehari – hari.