Dalam hidup ini, beberapa orang memilih
untuk tidak menunjukan secara terang - terangan apa yang mereka
rasakan ketika merasakan, mengalami, atau menghadapi realita hidup
yang dijalani. Beberapa dari mereka lebih suka untuk tidak bereaksi
ketika merasakan sesuatu, baik itu sedih, susah, senang, ataupun
bahagia.
Sejujurnya saya pernah mengalami
keadaan seperti itu, bahkan mungkin masih sering mengalaminya sampai
dengan saat ini. Menurut saya, ketika berhadapan dengan beberapa
kondisi tertentu terkadang kita memiliki ketidakleluasaan untuk
mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin kita ungkapkan karena adanya
anggapan negatif atau pesimis dalam diri sendiri yang menekankan
bahwa sebaiknya hal tersebut tidak perlu kita sampaikan karena
ketakutan akan munculnya sebuah konflik maupun polemik dalam
kehidupan kita. Ini semua pastinya bisa menjadi sangat subyektif
mengingat bahwa persepsi seperti ini hanya berlaku bagi orang –
orang yang memang sulit mengungkapkan apa yang ingin mereka ungkapkan
dan sekali lagi ini hanya berlaku bagi sebagian orang.
Beberapa hari yang lalu, saya dan
seorang teman membicarakan tentang kenapa beberapa orang tersebut,
termasuk saya, membuat pilihan seperti itu. Sebuah pertanyaan klise
yang mudah namun sulit untuk dijawab,
“kenapa takut? Bagaimana bisa tahu
hasilnya bisa merugikan banyak pihak sedangkan hal tersebut tidak
pernah disampaikan? Tiap orang berhak tahu apa yang orang lain
pikirkan dan rasakan mengenai dirinya.”
Pertanyaan teman saya itu sulit untuk
saya bantah karena bagaimanapun apa yang dia pertanyakan sangat masuk
akal dan memang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Sebagai
mahluk, kita cenderung hidup berkoloni yang pastinya akan saling
bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai mahluk
hidup yang bernama manusia, kita saling terhubung satu sama lain dan
seandainya tiap orang menyembunyikan persaannya terhadap orang lain,
bukankah itu akan semakin sulit untuk menciptakan sebuah hubungan
yang baik antara satu dengan yang lain?
Sulit bagi saya untuk menjabarkan
secara detail mengenai hal ini karena bagaimanapun teman saya dan
sebagian lainnya di luar sana tidak mengalami kompleksitas serta
konflik bathin yang dialami oleh orang – orang seperti saya ketika
dihadapkan pada situasi seperti itu. Bukan berarti tidak berusaha
jujur pada diri sendiri namun sekali lagi, dalam beberapa kondisi dan
situasi, kejujuran dianggap akan memicu timbulnya konflik sehingga
kebohongan serta konsep manipulasi merupakan pilihan bijak demi
kebaikan bersama. Dan pada akhirnya, ketulusan untuk hanya sekedar mengamati dari kejauhan, tanpa disadari menjadi sumber kekuatan lain untuk orang seperti saya dalam menjalani kehidupan.