Senin, 30 Agustus 2010

dari Abdul Wahab Al Bayati...

Dari kota-kota sihir dan goa-goanya muncullah : waddah
dengan bermahkota rembulan kematian dan api meteor yang jatuh di padang sahara,
yang dibawa oleh kuntilanak laksana burung murai jeruk,
bersama khafilah-khafilah menuju Syria,
dan bulu-bulu merah,
ditiupkan oleh tukang sihir ke cakrawala,
yang didalamnya tertulis mantera-mantera untuk para gadis yang berada di kota angin,
kalimat-kalimat batu yang jatuh di sumur-sumur, serta tarian-tarian api,
yang ditiupkan oleh tukang sihir ke istana khalifah,
kadangkala api itu berupa syair indah,
dan kadangkala ia berubah menjadi mutiara
bagai sang perawan,
yang jatuh di bawah kaki waddah,
lalu ia membawanya ke atas tempat tidur bagai seorang perempuan yang sedang terbuai
dengan gejolak nafsu,
sambil melampiaskan cinta bersama gelapnya malam dan cahaya rembulan yang gila,
ia mengigau, bernyanyi, mengakhiri walau tanpa memulai,
dan ia pun mengulangi lagi,
sang perawan kembali ke ranjangnya’karna merasa malu kepada sang malam dan cahaya
rembulan yang gila,
lalu ia membuka kedua matanya di atas abu api meteor yang jatuh di atas sahara,
dan bulu-bulu merah,
ditiupkan oleh tukang sihir di cakrawala, yang kadangkala berubah menjadi seekor kijang,
dengan tanduk dari emas dan kadang ia bagai seorang dukun yang mempraktekan
kesesatan, dan juga permainan kematian, di atas tanah haram khalifah,
dan malam harinya yang selalu diliputi khayalan-khayalan dan kebosanan…
Aku tidak pernah menemukan ketulusan dalam sebah cinta,
Tapi aku menemukan Tuhan…

Inilah yang paling saya suka dari seorang Abdul Wahab Al Bayati, ketika ia menyinggung perihal “Cinta dan Kematian” dalam salah satu puisinya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar