Jumat, 07 September 2012

Sempurna Sama Dengan Narsis, Setuju?


Setiap orang ingin terlihat sempurna – baik itu secara kualitas maupun kuantitas, yang jelas hampir tidak ada orang di dunia ini yang ingin menampakan ketidak sempurnaannya. Saya pernah membicarakan ini dengan beberapa teman tentang apa dan kenapa setiap orang begitu terobsesi dengan kesempurnaan yang padahal sudah sering kali kita diingatkan bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna – begitu yang ditulis dan diajarkan dalam kitab serta agama. Tapi kenapa kecenderungan tiap orang untuk menyangkal ketidak sempurnaan mereka begitu besar?

Teman - teman saya ini berpendapat bahwa itu dikarenakan adanya sifat – sifat narcisistic (baca : narsis) yang dimiliki oleh setiap orang. Ya mungkin saja begitu, mengingat sebagai homo sapiens sapiens (atau “manusia purba yang moderen”, terdengar aneh ya?) kita cenderung memiliki kecintaan terhadap diri sendiri. Jika begitu, apakah ini semua hanya soal narsis atau tidak? Karena kalau, apakah para perempuan yang suka berdandan agak berlebihan juga termasuk ke dalam kategori narsis? Sedangkan di satu sisi, jika mereka tidak begitu kemungkinan terbesar pasangan mereka akan berpaling kepada perempuan lain yang jauh lebih mahir berdandan? Bukan bermaksud membela kepentingan feminim, tapi dalam kondisi seperti ini, sebenarnya siapa yang memiliki andil lebih besar? Mereka yang narsis? Atau mereka yang memaksa seseorang untuk narsis?

Sejujurnya saya sendiri bukanlah orang yang terlalu narsis–setidaknya ke'narsis'an saya mungkin bukan terletak pada tampilan atau dandanan, dan pastinya juga bukan pada perilaku masturbasi atau onani (karena pada saat kuliah dulu, dosen saya pernah bilang kalau ternyata perilaku ini juga mengindikasikan gejala narcisistic. Saya sendiri masih mencari tahu soal kebenaran teori dosen saya itu). Tapi kalau ternyata bahwa anggapan beberapa teman saya ini benar, maka saya bisa beranggapan bahwa kesempurnaan yang dicari oleh kebanyakan orang bisa jadi hanya berkisar antara gincu, alas bedak, maskara, obat jerawat, facial scrub, dan (mohon maaf) sex.

Apakah ini berarti saya mendiskriminasi atau mendiskreditkan feminim? Pastinya tidak. Toh pada realitanya saat ini kita semakin sulit menentukan batas antara feminim dan maskulin, setuju?




 
This is life, not heaven. You dont have to be perfect”
~ Gia, 1998 ~


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar