“So,
why do you wanna be a doctor? I want to help. I want to connect with
people. A doctor interacts with people at their most vulnerable”.
~Patch
Adams, 1998~
Sewaktu
masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar dulu, kita sering
mendengar pemahaman yang berulang kali ditanamkan oleh guru-guru
kita, bahwa pada hakekatnya kita yang disebut sebagai manusia adalah mahluk sosial– yaitu mahluk yang memiliki kecenderungan
untuk mencari keberadaan mahluk lain atau secara sederhananya, merupakan mahluk yang tidak dapat hidup sendirian. Saya ingat
bagaimana guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) saat
masih SD dulu mengajarkan kalau tanpa kita sadari keberagaman yang
ada dalam kehidupan ini menciptakan sebuah ketertarikan dalam diri
setiap manusia, sehingga setiap manusia ter-stimulus untuk saling
mengenal satu sama lain. Dan pemahaman mengenai mahluk sosial ini pun
berkembang seiring dengan perkembangan dari manusia itu sendiri.
Saya
ingat kata-kata dari Aristoteles bahwa sebagai mahluk sosial, manusia
dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain
(dalam kajian filasafat, ini disebut dengan zoon politicon).
Bicara soal interaksi, ada yang menarik ketika saya memperhatikan
bagaimana manusia saling berinteraksi di zaman sekarang ini– dimana
peradaban moderen telah menciptakan sebuah dunia dalam bentuk
partikel serat optik bernama internet. Dewasa ini, hampir seluruh
manusia cenderung menghabiskan aktifitas sosialnya melalui fasilitas
social media yang ada di dalam internet. Sebut saja Facebook,
Twitter, Myspace, Thumbler, dan beberapa situs jejaring sosial
lainnya yang secara nyata telah menjadi media bagi hampir sebagian
besar manusia untuk berinteraksi. Cukup hanya dengan menuliskan apa
yang ingin disampaikan tanpa perlu memikirkan apa dan bagaimana
reaksi yang akan timbul kemudian– tentunya hal ini tidak lepas dari
berlakunya kebebasan hak azasi manusia untuk bicara.
Jika
kita bicara tentang interaksi, sudah pasti yang akan muncul dalam
benak kita pertama kali adalah tentang komunikasi, baik itu verbal
maupun non-verbal. Jujur saja saya suka sekali memperhatikan serta
mengamati bagaimana seseorang berkomunikasi, entah itu cara dan gaya
bicaranya, atau bahasa tubuhnya. Menurut saya setiap orang memiliki
cara berkomuniksi yang berbeda-beda dan mungkin ini yang menjadikan
manusia memiliki keunikan tersendiri. Saya terkesima melihat
bagaimana sepasang pria dan wanita– yang mungkin sepasang kekasih
atau semacamnya bisa saling berkomunikasi tanpa banyak berkata-kata,
hanya saling memandang dan membagi senyum. Bagaimana sepasang suami
istri yang berbicara dengan nada yang tinggi bahkan nyaris berteriak,
namun tetap bertahan hidup bersama dalam satu atap. Atau yang paling
mengagumkan adalah ketika melihat seorang Ibu yang harus selalu
menggunakan bahasa isyarat hanya agar anaknya yang tuna rungu tahu
betapa besar cinta sang Ibu kepadanya.
Selama
hidup ini, kita mungkin pernah atau sering kali bertemu dengan
orang-orang yang “kurang pandai” dalam berinteraksi dan biasanya
mereka ini merasa diasingkan lalu memilih untuk melanggar kodratnya
sebagai mahluk sosial, menolak dan menarik diri dari lingkungan
sosialnya. Dalam hal ini, saya sering menemukan bahwa memang
kebanyakan dari kita hanya mengerti tapi kurang memahami apa itu
berinteraksi. Kita sering lupa bahwa setiap orang memiliki cara
berinteraksi yang berbeda-beda dan terkadang kita kurang bisa
menghargai sebuah perbedaan. Bukankah karena kita perbedaan itu yang
membuat kita menjadi unik? Dan bukankah keunikan itu yang menciptakan
“hukum ketertarikan” diantara kita, manusia?
Manusia sebagai makhluk individualis sekaligus sebagai makhluk sosial.
BalasHapusTerimakasih sarannya.
Salam.
hidup adalah PERJUANGAN
Bahagia selamanya
Teofilus Lase