Kamis, 19 Juli 2012

Kita Bebas Memilih, "Asalkan"..


Beberapa tahun belakangan ini banyak sekali orang yang berbicara tentang kebebasan, baik itu yang bersifat hak asasi maupun tanggung jawab moral dari peradaban yang sedang mereka jalani saat ini. Berbagai hal, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama, semua dikaitkan dengan prinsip – prinsip kebebasan yang pada kenyataannya, pemahaman kebebasan itu justru menimbulkan begitu banyak konflik, baik antar sesama manusia maupun internal dari manusia itu sendiri.


Dalam pemahaman harafiahnya, kebebasan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dapat bertindak sesuai dengan keinginan atau kehendaknya. Dalam salah satu karyanya, On Liberty, John Stuart Mill mennyatakan bahwa kebebasan diartikan dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu kebebasan dalam bertindak dan kebebasan dari adanya tekanan. Hal ini menjadi sangat menarik untuk diamati karena paham kebebasan yang telah menjadi fundamental ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat, terutama masyarakat Indonesia sekarang ini.


Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia telah banyak “membuka diri” terhadap modernisasi sekarang ini. Mulai dari emansipasi perempuan, eksploitasi anak di bawah umur, hingga kebebasan untuk beribadah dan beragama. Semua ini didasari atas pemenuhan hak dari setiap warga negara, baik pria, wanita, tua, muda, relijius, maupun atheis. Namun pada pelaksanaannya, kebebasan justru menimbulkan banyak pertentangan dan silang pendapat yang berakhir pada perilaku masyarakat yang cenderung agresif dan anarkis.


Pada zaman moderen ini, kaum perempuan dinilai mendapat begitu banyak kebebasan untuk mengatur masa depan mereka dimana pemahaman konservatif para perempuan yang hidup di zaman “Siti Nurbaya” telah mengalami revolusi ideologi dan cara pikir yang lebih maju. Salah satunya adalah adanya kebebasan bagi perempuan untuk menentukan dan memilih pria mana atau seperti apa yang kelak akan menjadi pendamping hidup mereka. Kebebasan juga dianggap memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak – anak di bawah umur untuk merancang masa depan mereka, dengan diberlakukannya sistem kurikulum berbasis minat dan bakat di setiap sekolah dan instansi atau lembaga pendidikan.


Namun sekali lagi, pemikiran – pemikiran besar tersebut justru berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak orang. Kebebasan untuk bertindak, menentukan atau memilih hanya berlaku ketika kita memang memiliki beberapa pilihan atau opsi. Perempuan boleh menentukan atau memilih pria mana yang akan menjadi pasangan hidup, “asalkan” pria tersebut mapan, berkecukupan, baik, dewasa, bertanggung jawab, dapat menjadi imam bagi keluarga, dan sebagainya. Anak – anak bisa memilih pelajaran apa yang mereka sukai berdasarkan bakat dan minat yang mereka miliki, “asalkan” sesuai dengan keinginan kedua orang tua mereka.


Mungkin terkesan sepihak karena kebebasan kini diartikan dalam banyak pemahaman yang justru membuat makna dari kebebasan itu sendiri menjadi rancu. Sering kali mereka yang memiliki ke”bijak”sanaan berlebih menengahi perdebatan ini melalui pandangan mereka yang menyatakan bahwa,
seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu selama tidak merugikan hak – hak orang lain serta tetap menjalankan kewajibannya sebagai manusia”.
Tapi tetap saja, pandangan ini tidaklah memberikan jalan keluar atas pertentangan tentang pelaksanaan kebebasan yang terjadi diantara manusia sekarang ini karena secara kasat, ketika berbicara perihal kebebasan, manusia cenderung melihat hal tersebut sebagai batasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar