Beberapa
tahun belakangan ini banyak sekali orang yang berbicara tentang
kebebasan, baik itu yang bersifat hak asasi maupun tanggung jawab
moral dari peradaban yang sedang mereka jalani saat ini. Berbagai
hal, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama, semua
dikaitkan dengan prinsip – prinsip kebebasan yang pada
kenyataannya, pemahaman kebebasan itu justru menimbulkan begitu
banyak konflik, baik antar sesama manusia maupun internal dari
manusia itu sendiri.
Dalam
pemahaman harafiahnya, kebebasan diartikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang dapat bertindak sesuai dengan keinginan atau
kehendaknya. Dalam salah satu karyanya, On Liberty, John
Stuart Mill mennyatakan bahwa kebebasan diartikan dalam dua kondisi
yang berbeda, yaitu kebebasan dalam bertindak dan kebebasan dari
adanya tekanan. Hal ini menjadi sangat menarik untuk diamati karena
paham kebebasan yang telah menjadi fundamental ini justru berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat, terutama
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Sebagai
salah satu negara berkembang, Indonesia telah banyak “membuka diri”
terhadap modernisasi sekarang ini. Mulai dari emansipasi
perempuan, eksploitasi anak di bawah umur, hingga kebebasan untuk
beribadah dan beragama. Semua ini didasari atas pemenuhan hak dari
setiap warga negara, baik pria, wanita, tua, muda, relijius, maupun
atheis. Namun pada pelaksanaannya, kebebasan justru
menimbulkan banyak pertentangan dan silang pendapat yang berakhir
pada perilaku masyarakat yang cenderung agresif dan anarkis.
Pada
zaman moderen ini, kaum perempuan dinilai mendapat begitu banyak
kebebasan untuk mengatur masa depan mereka dimana pemahaman
konservatif para perempuan yang hidup di zaman “Siti Nurbaya”
telah mengalami revolusi ideologi dan cara pikir yang lebih maju.
Salah satunya adalah adanya kebebasan bagi perempuan untuk menentukan
dan memilih pria mana atau seperti apa yang kelak akan menjadi
pendamping hidup mereka. Kebebasan juga dianggap memberikan
kesempatan yang lebih baik bagi anak – anak di bawah umur untuk
merancang masa depan mereka, dengan diberlakukannya sistem kurikulum
berbasis minat dan bakat di setiap sekolah dan instansi atau lembaga
pendidikan.
Namun
sekali lagi, pemikiran – pemikiran besar tersebut justru berjalan
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak orang. Kebebasan untuk
bertindak, menentukan atau memilih hanya berlaku ketika kita memang
memiliki beberapa pilihan atau opsi. Perempuan boleh menentukan atau
memilih pria mana yang akan menjadi pasangan hidup, “asalkan”
pria tersebut mapan, berkecukupan, baik, dewasa, bertanggung jawab,
dapat menjadi imam bagi keluarga, dan sebagainya. Anak – anak bisa
memilih pelajaran apa yang mereka sukai berdasarkan bakat dan minat
yang mereka miliki, “asalkan” sesuai dengan keinginan kedua orang
tua mereka.
Mungkin
terkesan sepihak karena kebebasan kini diartikan dalam banyak
pemahaman yang justru membuat makna dari kebebasan itu sendiri
menjadi rancu. Sering kali mereka yang memiliki ke”bijak”sanaan
berlebih menengahi perdebatan ini melalui pandangan mereka yang
menyatakan bahwa,
“seseorang
memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu selama tidak merugikan hak
– hak orang lain serta tetap menjalankan kewajibannya sebagai
manusia”.
Tapi
tetap saja, pandangan ini tidaklah memberikan jalan keluar atas
pertentangan tentang pelaksanaan kebebasan yang terjadi diantara
manusia sekarang ini karena secara kasat, ketika berbicara perihal
kebebasan, manusia cenderung melihat hal tersebut sebagai batasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar