“Di
masa depan, setiap orang bisa menjadi terkenal di seluruh dunia hanya
dengan lima belas menit”.
~ Andy Warhol ~
Sudah
menjadi tujuan dari tiap mahluk hidup yang bernama manusia untuk
meng-aktualisasikan dirinya dengan sebaik mungkin demi mendapatkan
berbagai pencapaian terbaik dalam kehidupannya. Hal ini begitu
tergambar dalam catatan sejarah peradaban dunia, dimana begitu banyak
nama – nama besar yang telah membuat begitu banyak perubahan demi
eksistensi atau kelangsungan hidup manusia.
Secara
harafiah, eksistensi memiliki arti keberadaan atau suatu perihal yang
memang ada. Para filsuf menyatakan bahwa eksistensi berpusat pada
manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar
(Eksistensialisme). Benar adanya jika eksistensi telah menjadi tujuan
utama dari apa yang kita sebut dengan peradaban karena pastinya
setiap mahluk hidup akan berupaya untuk mempertahankan dan menjaga
kelangsungan hidup mereka.
Pada
era global seperti ini, banyak orang yang menunjukan keberadaan
dirinya dengan melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan yang
justru pada kenyataannya telah menggeser esensi dari nilai serta
norma yang berlaku selama ini dan tanpa sadar, mereka mengartikannya
dengan pemahaman baru yang dianggap lebih moderen serta fleksibel.
Efek domino yang kuat menyebabkan adanya hubungan yang saling
mempengaruhi atau bahkan lebih tepatnya, saling mendominasi diantara
perkembangan zaman dan eksistensi yang menyebabkan begitu banyak
manusia menciptakan pola -pola baru atau mainstream yang tidak
memiliki keterikatan satu sama lain, maka bukanlah suatu pemandangan
baru jika begitu banyak manusia yang memilih menjalani hidup menurut
aturan mainstream-nya sendiri – sendiri.
“Eksistensi
pada umumnya akan mendatangkan penghargaan diri bagi individu yang
memperjuangkannya. Dalam kajian psikologi, Abraham Maslow
menyatakan bahwa penghargaan diri merupakan salah satu kebutuhan
mendasar bagi setiap manusia (Needs of Hierarchy)”.
Pada
kenyataannya sekarang ini, eksistensi itu sendiri telah diartikan
dengan pemahaman lain yang dimana pemahaman ini dianggap telah
melunturkan nilai – nilai moralitas serta norma oleh orang –
orang terdahulu yang sebenarnya sudah lebih dulu “eksis”
dibandingkan dengan orang – orang dengan paham moderen di masa
sekarang ini. Pada era terdahulu yang cenderung mengarah pada pola
konservatif, eksistensi manusia lebih ditekankan pada penanaman budi
pekerti dengan pengharapan akan lahirnya generasi yang memiliki nilai
– nilai suri tauladan bagi sesamanya. Namun seiring
perkembangannya, perspektif manusia moderen menganggap bahwa
pemahaman seperti itu sudah tidak layak lagi untuk diaktualisasikan.
Pada tatanan masyarakat moderen, eksistensi lebih menekankan prinsip
– prinsip individualisme yang secara harafiahnya dapat diartikan
bahwa sekarang ini eksistensi manusia lebih mengutamakan kepentingan
pribadi dibandingkan kepentingan bersama.
Teramat
sulit bagi masyarakat awam untuk menyikapi masalah ini karena
ke-berpihak-an bukan solusi terbaik yang harus kita ambil, namun
perlu adanya ke-bijaksana-an dari cara pandang dan berpikir dari kita
semua mengenai pertentangan ini sebab bagaimanapun, fenomena
eksistensi ini akan berakibat pada lahirnya generasi baru di masa
mendatang yang kehilangan jati diri hanya dikarenakan tidak paham
bagaimana mereka harus menunjukan esksitensi diri mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar