Kamis, 17 November 2011

Adab Berbahasa

bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”
~Plato~

Secara sederhana, banyak orang sering mengartikan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan maksud dan tujuan atau juga sekumpulan kata yang digunakan sebagai penjelasan atas keinginan. Saya sering kali mempertanyakan masalah penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia. Beberapa orang yang mengatakan kalau bahasa Indonesia itu jauh lebih rumit atau dalam istilah yang lebih moderen disebut “ribet”. Menurut mereka, bahasa Indonesia terkesan diperhalus dan cenderung tidak tepat sasaran (muter-muter) sehingga memiliki banyak nilai ambiguitas di dalam pemahamannya. Sebagai contoh, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pembanding. Misalnya penyebutan “bulan" dalam bahasa Inggris yang menyebut “bulan” yang ada di langit dengan moon dan “bulan” yang ada di kalender disebut dengan month, sedangkan dalam bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan penyebutan antara “bulan” di langit dengan “bulan” yang ada di kalender. 
 
Mungkin ada benarnya kalau sebagian besar orang ini berpendapat demikian karena jika saya perhatikan, tentu akan muncul kebingungan dalam penggunaan kaedah bahasa Indonesia itu sendiri. Bagaimana kita harus menjawab ketika seseorang bertanya pada kita, “ini bulan apa ya?” melalui telepon (yang berarti kita tidak melihat apakah orang tersebut sedang melihat langit atau kalender), apakah kita harus menjawab Januari, Febuari? Atau kita harus menjawab purnama?

Tapi yang cukup mengganggu buat saya adalah adanya krisis penggunaan bahasa Indonesia dalam cara membaca dan penyebutannya (saya sering menyebutnya dengan “membunyikan huruf”). Coba saja Anda perhatikan bagaimana diri Anda menyebut merk (orang bule menyebutnya dengan brand atau signboard), apakah Anda menyebutnya sesuai dengan tulisannya, merk? Atau anda menyebutnya dengan merek? Saya lebih suka menyebutnya dengan merk karena jika saya menyebutnya dengan merek maka akan muncul persepsi bahwa saya sedang membicarakan WTS (mohon maaf, Wanita Tuna Susila).
Mungkin sebagian orang akan menyebut saya terlalu kritis dan sebagian lainnya akan mengkerutkan dahinya sambil memicingkan mata (penyebutan dalam istilah moderennya, krik-krik) karena dalam anggapan mereka dan kebanyakan orang, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu ditanggapi secara berlebihan (yang dalam penyebutan lebih moderennya, sepele). 

“kan yang penting, orang tau maksudnya! Masa kayak gitu aja mesti ribet? Anak SD juga tau kali!”, begitu yang seringnya orang bilang tiap saya tanyakan mengenai hal ini. Dan saya teringat pada salah satu keponakan saya yang masih duduk di kelas 4 SD, bertanya dengan polosnya (maaf, maksudnya bukan polos “tanpa busana”) kepada Ibu saya tentang berita di koran yang baru saja di bacanya. “Nek.. Nek, kok “Bapak” ini ditangkap polisi? Kan dia baik mau “nidurin” anaknya?” dan sontak Ibu saya langsung mengambil koran yang sedang di baca keponakan saya itu, sambil mengalihkan perhatiannnya dengan pertanyaan seputar pelajaran sekolahnya (dan saya menggelengkan kepala sambil ketawa begitu membaca berita di koran tersebut, Akibat Meniduri Anak Kandungnya, Seorang Bapak Dihukum Lima Tahun Penjara).

Entah apa karena perkembangan zaman yang telah banyak menyentuh kemajuan teknologi (dimana komunikasi cenderung lebih diaktualisasikan lewat kecanggihan mesin atau “robot”) sehingga penanaman nilai serta kaedah dari bahasa itu sendiri mulai pudar secara perlahan. Dan ketika peradaban moderen telah benar-benar mengenyampingkan kaedah bahasa maka mungkin akan semakin muncul kebingungan dan ambiguitas dalam adab berkomunikasi antar manusia. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar