“bahasa
pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan
onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan
cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut”
~Plato~
Secara
sederhana, banyak orang sering mengartikan bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan maksud dan tujuan atau juga sekumpulan kata yang
digunakan sebagai penjelasan atas keinginan. Saya sering kali
mempertanyakan masalah penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia.
Beberapa orang yang mengatakan kalau bahasa Indonesia itu jauh lebih
rumit atau dalam istilah yang lebih moderen disebut “ribet”.
Menurut mereka, bahasa Indonesia terkesan diperhalus dan cenderung
tidak tepat sasaran (muter-muter) sehingga memiliki banyak nilai
ambiguitas di dalam pemahamannya. Sebagai contoh, mereka menggunakan
bahasa Inggris sebagai pembanding. Misalnya penyebutan “bulan"
dalam bahasa Inggris yang menyebut “bulan” yang ada di langit
dengan moon
dan “bulan” yang ada di kalender disebut dengan month,
sedangkan
dalam bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan penyebutan antara “bulan”
di langit dengan “bulan” yang ada di kalender.
Mungkin
ada benarnya kalau sebagian besar orang ini berpendapat demikian
karena jika saya perhatikan, tentu akan muncul kebingungan dalam
penggunaan kaedah bahasa Indonesia itu sendiri. Bagaimana kita harus
menjawab ketika seseorang bertanya pada kita, “ini bulan apa ya?”
melalui telepon (yang berarti kita tidak melihat apakah orang
tersebut sedang melihat langit atau kalender), apakah kita harus
menjawab Januari, Febuari? Atau kita harus menjawab purnama?
Tapi
yang cukup mengganggu buat saya adalah adanya krisis penggunaan
bahasa Indonesia dalam cara membaca dan penyebutannya (saya sering
menyebutnya dengan “membunyikan huruf”). Coba saja Anda
perhatikan bagaimana diri Anda menyebut merk
(orang bule menyebutnya
dengan brand
atau signboard),
apakah Anda menyebutnya sesuai dengan tulisannya, merk?
Atau anda menyebutnya dengan merek?
Saya lebih suka menyebutnya dengan merk
karena jika saya menyebutnya dengan merek
maka akan muncul persepsi bahwa saya sedang membicarakan WTS (mohon
maaf, Wanita Tuna Susila).
Mungkin
sebagian orang akan menyebut saya terlalu kritis dan sebagian lainnya
akan mengkerutkan dahinya sambil memicingkan mata (penyebutan dalam
istilah moderennya, krik-krik)
karena dalam anggapan mereka dan kebanyakan orang, hal ini bukanlah
sesuatu yang perlu ditanggapi secara berlebihan (yang dalam
penyebutan lebih moderennya, sepele).
“kan
yang penting, orang tau maksudnya! Masa kayak gitu aja mesti ribet?
Anak SD juga tau kali!”, begitu yang seringnya orang bilang tiap
saya tanyakan mengenai hal ini. Dan saya teringat pada salah satu
keponakan saya yang masih duduk di kelas 4 SD, bertanya dengan
polosnya (maaf, maksudnya bukan polos “tanpa busana”) kepada Ibu
saya tentang berita di koran yang baru saja di bacanya. “Nek.. Nek,
kok “Bapak” ini ditangkap polisi? Kan dia baik mau “nidurin”
anaknya?” dan sontak Ibu saya langsung mengambil koran yang sedang
di baca keponakan saya itu, sambil mengalihkan perhatiannnya dengan
pertanyaan seputar pelajaran sekolahnya (dan saya menggelengkan
kepala sambil ketawa begitu membaca berita di koran tersebut, Akibat
Meniduri Anak Kandungnya, Seorang Bapak Dihukum Lima Tahun Penjara).
Entah
apa karena perkembangan zaman yang telah banyak menyentuh kemajuan
teknologi (dimana komunikasi cenderung lebih diaktualisasikan lewat
kecanggihan mesin atau “robot”) sehingga penanaman nilai serta
kaedah dari bahasa itu sendiri mulai pudar secara perlahan. Dan
ketika peradaban moderen telah benar-benar mengenyampingkan kaedah
bahasa maka mungkin akan semakin muncul kebingungan dan ambiguitas
dalam adab berkomunikasi antar manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar