Rabu, 25 Agustus 2010

Mati = Hidup

Baru-baru ini salah satu teman saya membuat pernyataan soal kematian. Dia menanyakan kepada saya, "seandainya gua meninggal, orang-orang yang sayang sama gua bakal nangis gak ya?"...Jujur, pertanyaan itu membawa saya pada sebuah polemik tersendiri tentang kematian. Dari sekian banyak orang yang mempengaruhi hidup saya menyatakan bahwa kematian itu merupakan salah satu ritme terpenting dalam kehidupan. Ada pertemuan, berarti ada perpisahan..ada yang datang juga ada yang pergi, dengan kata lain, ada kehidupan berarti ada kematian. Jadi, jika demikian adanya kenapa masih ada segelintir orang yang memilih kematian sebagai "solusi" terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah, padahal semua orang yang hidup pasti akan mati?
Kematian merupakan hal yang lazim namun sangat sulit untuk dipahami dan dimengerti oleh akal manusia. Kematian merupakan peristiwa lepasnya nyawa dari organisme biologi, atau bisa dibilang keadaan dimana terpisahnya roh dan jiwa dengan tubuhnya. Jadi sebenarnya, ketika kita memulai suatu kehidupan maka kita sudah mulai menghitung mundur menuju kematian. Kita harus menggunakan waktu  yang ada dengan sebaik mungkin untuk menuju sebuah kematian. Namun masih ada juga segelintir orang yang tidak memahami kematian secara bijak. Ketika sebagian besar orang berusaha sekuat tenaga untuk bisa hidup, sebagian kecil lainnya malah ingin mengakhiri hidupnya. Saya bersyukur bisa bertemu dengan "mereka-mereka" yang pernah ingin mennyelesaikan hidup dengan cara bunuh diri. Mereka mengakui, "solusi bunuh diri" ini muncul ketika mereka mengalami masalah-masalah yang berat dan merasa menemukan "jalan yang buntu" dalam kehidupan mereka. Mulai dari yang klise, masalah seputar romantika, kekecewaan, tertekan, merasa usefull, hopeless,  sampai dengan gejala neurosis lainnya yang membawa mererka pada keadaan helpless.
Tapi dari sekian banyak "mantan" pelaku bunuh diri yang saya pernah temui, ada yang paling menarik, saya menyebutnya sebagai "mayat yang hidup". Mereka hidup, tapi menjalani kehidupan mereka seperti orang mati. Tidak memiliki tujuan, pasif, apatis berlebihan, dan merasa diri mereka tidaklah nyata (maya). Mereka seperti tersesat ke dalam kehidupan yang "kopong" sehingga mereka merasa tidak menjalani sebuah ritme kehidupan yang nyata.
Berdasarkan pengalaman saya itu, akhirnya saya memiliki sebuah pemahaman yang mungkin agak kabur namun membuat saya tidak hanya sekedar melihat apa yang saya rasakan, tapi lebih merasakan apa yang tidak terlihat. Bahwa dari sekian banyak orang yang memiliki kehidupan, masih ada yang menolak memilikinya. Mereka lebih suka menikmati kematian daripada menjalani kehidupan. Padahal seandainya saja, mereka mau sedikit berdamai dengan diri mereka sendiri maka mereka akan mengerti bahwa dalam kehidupan ini masih banyak hal  sepele yang tidak hanya sekedar dijalani namun sangat indah untuk di nikmati. Dari mereka, saya belajar bahwa saya harus terus hidup untuk bisa "mati".       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar