Jumat, 10 Agustus 2012

Pulang kampung


Tanpa terasa bulan Ramadhan akan segera berakhir dan sampailah kita semua pada hari raya, sebuah “hari kemenangan” yang dimaknai dengan kembalinya fitrah yang suci dimana setiap jiwa manusia dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan, seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Quran.

Sejak pertama kali saya mengerti dan menjalani puasa, saya sering bertanya kepada Ibu dan Almarhum Nenek saya tentang kenapa harus ketupat dan opor ayam? Kenapa bukan mie goreng cah jamur? Saya lebih suka mie goreng cah jamur. Lalu saya juga sering bertanya kenapa harus kolak? Kenapa bukan es blewah? Saya lebih suka es blewah tanpa susu. Saya kurang menyukai kolak karena aneh rasanya kalau santan dicampur dengan yang sesuatu manis. Kenapa harus baju baru? Baju baru saya yang tahun lalu bahkan masih sangat bagus dan layak untuk digunakan sampai beberapa tahun lagi. Dan pertanyaan – pertanyaan konyol lainnya dari saya, anak umur enam tahun yang perlahan beranjak remaja dan mulai mengerti kenapa mereka, orang – orang dewasa yang memakai seragam, kemeja, atau dasi begitu mengharapkan adanya tunjangan hari raya.

Dari begitu banyak hal yang saya pertanyakan, ada satu yang paling menarik dari kebiasaan atau budaya ketika menjelang hari raya, yaitu “mudik” yang berarti kembali mengunjungi tanah kelahiran dan leluhur, atau yang sering kita sebut dengan “pulang kampung”. Ada begitu banyak pertanyaan dalam diri saya mengenai kebiasaan “pulang kampung” ini. Secara umumnya, mereka yang “mudik” atau “pulang kampung” memiliki keinginan untuk merayakan hari raya di kampung halaman, sambil mengunjungi atau ziarah ke makam orang tua mereka. Mereka begitu men-sakral-kan tradisi “mudik” ini, mengingat hal ini mungkin hanya bisa dilakukan setahun sekali. Dan ini yang menarik bagi saya, atau lebih tepatnya menggelikan mengingat hanya setahun sekali mereka mengunjungi orang tua, baik itu yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Timbul pertanyaan – pertanyaan konyol dalam kepala saya. Jika ini telah mejadi sebuah budaya atau tradisi, maka saya beranggapan bahwa ini adalah budaya atau tradisi yang sangat menyedihkan. Apa memang semudah dan semurah itu nilai dari pemahaman tentang hari raya itu sendiri? Bahwa hari raya itu hanya ajang kumpul – kumpul keluarga besar yang lama sudah tidak berkumpul? Atau sebagai ajang silaturahmi kita kepada orang tua yang dilakukan setahun sekali hanya karena kesibukan kita di luar bulan Ramadhan dan hari raya?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar