Tanpa terasa bulan Ramadhan akan segera
berakhir dan sampailah kita semua pada hari raya, sebuah “hari
kemenangan” yang dimaknai dengan kembalinya fitrah yang suci dimana
setiap jiwa manusia dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan,
seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Quran.
Sejak pertama kali saya mengerti dan
menjalani puasa, saya sering bertanya kepada Ibu dan Almarhum Nenek
saya tentang kenapa harus ketupat dan opor ayam? Kenapa bukan mie
goreng cah jamur? Saya lebih suka mie goreng cah jamur. Lalu saya
juga sering bertanya kenapa harus kolak? Kenapa bukan es blewah? Saya
lebih suka es blewah tanpa susu. Saya kurang menyukai kolak karena
aneh rasanya kalau santan dicampur dengan yang sesuatu manis. Kenapa
harus baju baru? Baju baru saya yang tahun lalu bahkan masih sangat
bagus dan layak untuk digunakan sampai beberapa tahun lagi. Dan
pertanyaan – pertanyaan konyol lainnya dari saya, anak umur enam
tahun yang perlahan beranjak remaja dan mulai mengerti kenapa mereka,
orang – orang dewasa yang memakai seragam, kemeja, atau dasi begitu
mengharapkan adanya tunjangan hari raya.
Dari begitu banyak hal yang saya
pertanyakan, ada satu yang paling menarik dari kebiasaan atau budaya
ketika menjelang hari raya, yaitu “mudik” yang berarti kembali
mengunjungi tanah kelahiran dan leluhur, atau yang sering kita sebut
dengan “pulang kampung”. Ada begitu banyak pertanyaan dalam diri
saya mengenai kebiasaan “pulang kampung” ini. Secara umumnya,
mereka yang “mudik” atau “pulang kampung” memiliki keinginan
untuk merayakan hari raya di kampung halaman, sambil mengunjungi atau
ziarah ke makam orang tua mereka. Mereka begitu men-sakral-kan
tradisi “mudik” ini, mengingat hal ini mungkin hanya bisa
dilakukan setahun sekali. Dan ini yang menarik bagi saya, atau lebih
tepatnya menggelikan mengingat hanya setahun sekali mereka
mengunjungi orang tua, baik itu yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal.
Timbul pertanyaan – pertanyaan konyol
dalam kepala saya. Jika ini telah mejadi sebuah budaya atau tradisi,
maka saya beranggapan bahwa ini adalah budaya atau tradisi yang
sangat menyedihkan. Apa memang semudah dan semurah itu nilai dari
pemahaman tentang hari raya itu sendiri? Bahwa hari raya itu hanya
ajang kumpul – kumpul keluarga besar yang lama sudah tidak
berkumpul? Atau sebagai ajang silaturahmi kita kepada orang tua yang
dilakukan setahun sekali hanya karena kesibukan kita di luar bulan
Ramadhan dan hari raya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar