Setiap
orang ingin terlihat sempurna – baik itu secara kualitas maupun
kuantitas, yang jelas hampir tidak ada orang di dunia ini yang ingin
menampakan ketidak sempurnaannya. Saya pernah membicarakan ini dengan
beberapa teman tentang apa dan kenapa setiap orang begitu terobsesi
dengan kesempurnaan yang padahal sudah sering kali kita diingatkan
bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna – begitu yang ditulis
dan diajarkan dalam kitab serta agama. Tapi kenapa kecenderungan tiap
orang untuk menyangkal ketidak sempurnaan mereka begitu besar?
Teman
- teman saya ini berpendapat bahwa itu dikarenakan adanya sifat –
sifat narcisistic (baca : narsis) yang dimiliki oleh
setiap orang. Ya mungkin saja begitu, mengingat sebagai homo
sapiens sapiens (atau “manusia purba yang moderen”, terdengar
aneh ya?) kita cenderung memiliki kecintaan terhadap diri sendiri.
Jika begitu, apakah ini semua hanya soal narsis atau tidak? Karena
kalau, apakah para perempuan yang suka berdandan agak berlebihan juga
termasuk ke dalam kategori narsis? Sedangkan di satu sisi, jika
mereka tidak begitu kemungkinan terbesar pasangan mereka akan
berpaling kepada perempuan lain yang jauh lebih mahir berdandan?
Bukan bermaksud membela kepentingan feminim, tapi dalam kondisi
seperti ini, sebenarnya siapa yang memiliki andil lebih besar? Mereka
yang narsis? Atau mereka yang memaksa seseorang untuk narsis?
Sejujurnya
saya sendiri bukanlah orang yang terlalu narsis–setidaknya
ke'narsis'an saya mungkin bukan terletak pada tampilan atau dandanan,
dan pastinya juga bukan pada perilaku masturbasi atau onani (karena
pada saat kuliah dulu, dosen saya pernah bilang kalau ternyata
perilaku ini juga mengindikasikan gejala narcisistic. Saya
sendiri masih mencari tahu soal kebenaran teori dosen saya itu).
Tapi kalau ternyata bahwa anggapan beberapa teman saya ini benar,
maka saya bisa beranggapan bahwa kesempurnaan yang dicari oleh
kebanyakan orang bisa jadi hanya berkisar antara gincu, alas bedak,
maskara, obat jerawat, facial scrub, dan (mohon maaf) sex.
Apakah
ini berarti saya mendiskriminasi atau mendiskreditkan feminim?
Pastinya tidak. Toh pada realitanya saat ini kita semakin sulit
menentukan batas antara feminim dan maskulin, setuju?
“This
is life, not heaven. You dont have to be perfect”
~
Gia, 1998 ~