Kemarin
malam saya menyaksikan sebuah acara bincang-bincang di salah satu
stasiun televisi swasta yang temanya mengulas kabar yang sudah
beberapa waktu ini menjadi hot topic di kalangan elit politik,
soal tertangkapnya tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan
gubernur deputi senior BI, nunun nurbaeti. Ya, istri dari anggota
komisi tiga dewan perwakilan rakyat, adang daradjatun ini akhirnya
berhasil ditangkap atau dalam kajian bahasa indonesia yang lebih
sopan, “diamankan”, setelah hampir sekian waktu membuat beberapa
pihak (kpk, polri, dan intelejen negara) menjadi ekstra sibuk mencari
keberadaannya di luar negeri.
Yang
menarik buat saya dari pembahasan acara malam itu bukanlah soal
bagaimana proses tertangkapnya nunun, tapi soal pernyataan dari
dokter pribadi nunun nurbaeti yang menyatakan kalau “pasien”nya
itu mempunyai penyakit lupa (mungkin semacam gejala demensia atau
amnesia). Memang cukup aneh (dan malah terkesan mengada-ada),
bagaimana bisa seseorang yang mempunyai penyakit lupa bisa melakukan
perjalanan (pelarian) ke beberapa negara dan dalam waktu yang tidak
sebentar. Cukup aneh ya?
Fenomena
“penyakit lupa” yang dialami oleh nunun nurbaeti ini sangat
menarik, mengingat bahwa di peradaban yang moderen ini ternyata masih
ada sejumlah orang yang memiliki masalah dengan proses merekam dalam
sistem kognisi. Saya teringat dengan beberapa orang yang
pernah berbagi permasalahan (atau dalam istilah yang lebih ke-kini-an
disebut “kegalauan”) mereka dengan saya. Mulai dari masalah yang
paling populer, percintaan, sampai dengan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Hampir semua permasalahan (kegalauan) mereka ini berujung
pada harapan untuk bisa melupakan permasalahan mereka (seringnya
berkisar sakit hati, “melupakan mantan pacar”).
Sebagai
orang yang pernah belajar tentang ilmu psikologi, sedikitnya saya
paham soal “penyakit lupa” ini. Dalam kajian ilmu psikologi,
kedokteran, atau kesehatan, “penyakit “ ini disebut dengan gejala
demensia atau amnesia. Gejala ini merupakan proses
penurunan kemampuan intelektual yang progresif sehingga seseorang
mengalami kemunduran fungsi kognitif-nya. Mungkin kalau dicari
korelasinya, “penyakit lupa” ini memiliki kaitan dengan ingatan
atau memori (saya pernah “menyeruputnya” di salah satu secangkir kopi hitam saya).
Memperhatikan
fenomena ini, saya jadi memiliki perspektif (yang pastinya sangat
dangkal) kalau di saat sekarang ini banyak sekali orang yang secara
tidak sadar membudi-dayakan “penyakit lupa” ini. Kebanyakan dari
mereka ini, entah secara sengaja atau tidak, “bersembunyi” di
balik fenomena ini. Mungkin kalau melihat kejadian nunun nurbaeti,
kita berasumsi kalau nunun menjadikan “penyakit” ini sebagai
pengalihan atas dakwaan dirinya sedangkan pada realitanya cukup
banyak orang yang melakukan apa yang nunun lakukan dan beberapa dari
mereka tidak sadar atas apa yang mereka lakukan ini.
Bagaimanapun
“penyakit lupa” ini sangat jauh dari kata baik. Karena pada
dasarnya hal ini akan sangat berdampak buruk bagi sistem kerja
kognisi (otak) kita dan pastinya akan berpengaruh dalam
kehidupan kita.