Selasa, 31 Agustus 2010

manusia VS kanibalisme...

Manusia itu sangat rumit..,namun sangat menarik untuk saya pelajari dan pahami. Manusia merupakan sekumpulan permasalahan yang kompleks dan terkadang sulit untuk dimengerti. Saya sering memperhatikan perilaku-perilaku manusia yang sering kali dianggap sebagai suatu "kegilaan" karena bertentangan dengan etika peradaban manusia itu sendiri. Abaraham Maslow menyatakan, bahwa manusia terbentuk melalui sebuah proses pembelajaran lingkungan, dimana proses pembelajarannya berlangsung secara dinamis dan cenderung progresif. Sebuah perilaku akan menjadi budaya yang lalu beradaptasi berdasarkan moralitas dan etika kehidupan yang ada pada saat perilaku tersebut dilakukan atau dengan kata lain, manusia adalah sebuah bentuk estetika "tertinggi" yang terjadi akibat meleburnya nilai-nilai religi, budaya, moral, dan logika dan kemudian membentuk suatu sistem yang sering kita sebut sebagai peradaban.

Di era sekarang ini, dimana "budaya pop" telah menjadi suatu mainstream yang paling digandrungi oleh kebanyakan manusia telah menciptakan sebuah keadaan yang sangat jauh dari nilai-nilai manusia itu sendiri. Di zaman sekarang ini, saya melihat sebuah peradaban yang melihat manusia hanya sebagai "mesin yang bernyawa" dan sangat miskin akan esensi kehidupan. Manusia mengalami pergeseran nilai-nilai sehingga manusia di zaman sangat memungkinkan untuk memakan manusia lain, atau saya menyebutnya sebagai "budaya kanibalisme".

Bukan maksud saya untuk menggurui atau sok suci, karena saya benci menjadi munafik namun saya mempelajari ini semua sebagai suatu regresi ideologi sikap otak dari kebanyakan manusia yang sudah sangat kanibal dan jauh dari perikemanusiaan. Saya melihat bahwa kegilaan sudah begitu melekat pada evolusi manusia yang mulai jauh berseberangan dengan hakekat manusia sebagai "khalifah" di dunia...

Ketika mata memandang....

Saya ini termasuk orang yang suka memperhatikan wajah orang lain, terutama sorot mata mereka. Dari setiap sorot mata mereka, terkadang saya menemukan sesuatu yang menarik dari diri mereka. Sesuatu yang bisa jadi mereka sendiri tidak menyadarinya, sesuatu yang begitu besar dan dahsyat namun terkadang terpendam begitu dalam sehingga mereka sulit untuk dapat merasakannya.

“Mata merupakan jendela hati”, begitu kata para pujangga dan orang-orang bijak terdahulu ketika mereka membahas perihal “isi” manusia. Dari mata turun ke hati, begitu kata pemuja cinta ketika mereka merasakan cinta datang menghampiri diri mereka. Begitu banyak pemikiran-pemikiran yang menyentuh esensi dan nilai kemanusiaan ketika kita membahas salah satu bagian dari wajah kita ini. Bayangkan saja betapa ajaibnya, dengan bermodal dua bola kecil berwarna putih dimana di dalam setiap bolanya memiliki satu kornea berwarna hitam dan disetiap korneanya terdapat satu retina kecil yang menempel pada rongga diantara dahi dan pelipis saja kita bisa mengenali, mengerti, dan memahami seluruh isi dunia. Mata juga merupakan “kamera ajaib” bagi diri kita karena sekian lama kita hidup begitu banyak kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah kita lewati, mulai dari yang manis sampai dengan yang pahit, mulai dari yang menyenangkan sampai dengan yang menyakitkan namun hanya sedikit saja yang terlupakan, sebagian besar terekam dengan sangat baik dalam oleh mata kita.

Bagi saya, mata merupakan cerminan emosi, mimpi, dan keinginan yang paling hebat dari dalam diri seseorang. Sebagai anak laki-laki yang cukup dekat dengan sosok Ibu, saya sering kali menangkap dan merasakan sesuatu yang lain ketika ia menatap saya, seakan-akan saya adalah sekumpulan doa atas mimpi dan harapan terbesar dalam hidupnya. Sebuah tatapan penuh dengan cinta yang membuat saya selalu merasa jauh lebih hidup setiap harinya. Atau tatapan mata mantan kekasih saya terdahulu yang seolah-olah menemukan kebahagian terbesarnya ketika diam-diam dia menatap saya. Selain itu ada juga tatapan penuh kekecewaan seseorang yang sangat menyakiti hati saya ketika dia mengetahui bahwa saya adalah seorang mantan pecandu, juga tatapan penuh rasa kesakitan yang sangat hebat sesaat sebelum maut menjemput nenek saya.

Dari seluruh tatapan mata yang pernah saya dapatkan, selain mata Ibu saya, ada satu mata yang begitu hebat menyentuh perasaan dan memberikan kekuatan tersendiri dalam diri saya. Tatapan mata yang membuat saya merasa besar namun dengan seketika membuat saya merasa kecil. Tatapan mata yang membuat saya merasa menjadi orang yang paling berani, namun seketika menjadi sangat pengecut, hingga saya menyadari bahwa diri saya hanyalah manusia biasa yang belajar mengenai ketulusan. Sebuah tatapan dari keindahan mata seseorang yang mengajarkan saya untuk selalu menjadi yang terbaik dan terus melakukan hal-hal baik…dan saya bersyukur, karena “Dia Yang Punya Kuasa” memberikan anugerah dengan memberikan saya kesempatan untuk bertemu dan merasakan langsung hangatnya tatapan mata dari salah satu “Karya Terbaik”-Nya…

Senin, 30 Agustus 2010

dari Abdul Wahab Al Bayati...

Dari kota-kota sihir dan goa-goanya muncullah : waddah
dengan bermahkota rembulan kematian dan api meteor yang jatuh di padang sahara,
yang dibawa oleh kuntilanak laksana burung murai jeruk,
bersama khafilah-khafilah menuju Syria,
dan bulu-bulu merah,
ditiupkan oleh tukang sihir ke cakrawala,
yang didalamnya tertulis mantera-mantera untuk para gadis yang berada di kota angin,
kalimat-kalimat batu yang jatuh di sumur-sumur, serta tarian-tarian api,
yang ditiupkan oleh tukang sihir ke istana khalifah,
kadangkala api itu berupa syair indah,
dan kadangkala ia berubah menjadi mutiara
bagai sang perawan,
yang jatuh di bawah kaki waddah,
lalu ia membawanya ke atas tempat tidur bagai seorang perempuan yang sedang terbuai
dengan gejolak nafsu,
sambil melampiaskan cinta bersama gelapnya malam dan cahaya rembulan yang gila,
ia mengigau, bernyanyi, mengakhiri walau tanpa memulai,
dan ia pun mengulangi lagi,
sang perawan kembali ke ranjangnya’karna merasa malu kepada sang malam dan cahaya
rembulan yang gila,
lalu ia membuka kedua matanya di atas abu api meteor yang jatuh di atas sahara,
dan bulu-bulu merah,
ditiupkan oleh tukang sihir di cakrawala, yang kadangkala berubah menjadi seekor kijang,
dengan tanduk dari emas dan kadang ia bagai seorang dukun yang mempraktekan
kesesatan, dan juga permainan kematian, di atas tanah haram khalifah,
dan malam harinya yang selalu diliputi khayalan-khayalan dan kebosanan…
Aku tidak pernah menemukan ketulusan dalam sebah cinta,
Tapi aku menemukan Tuhan…

Inilah yang paling saya suka dari seorang Abdul Wahab Al Bayati, ketika ia menyinggung perihal “Cinta dan Kematian” dalam salah satu puisinya….

Pulang...

Kalau saya perhatikan saat-saat menjelang hari Raya seperti sekarang ini, hampir semua orang terutama orang-orang muslim mulai sibuk mencari dan mengumpulkan “rupiah” untuk mereka bawa pulang untuk dibagikan kepada sanak keluarga ketika mereka kembali mengunjungi kampung halaman untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Dari jauh-jauh hari mereka sudah membuat rencana agar bisa pulang ke kampung halaman untuk serangkaian “ritual”, mulai dari berziarah ke makam keluarga dekat maupun kerabat yang sudah meninggal, menemui keluarga yang masih hidup untuk menjalin kembali tali silahturahmi yang mungkin pernah terputus.

Sudah menjadi hakekat jika kita sebagai manusia selalu rindu kepada sesuatu yang membuat kita ingin kembali “pulang”. Ya, pulang menuju sebuah tempat yang nyaman, tenteram, dan membuat kita merasa menjadi sesuatu. Saya mengerti bahwa pada akhirnya nanti kita semua akan “pulang” mengunjungi Allah untuk melepaskan segala kerinduan dan memohon segala ampunan dengan membawa “oleh-oleh” berupa amal kebaikan yang kelak agar kita  diterima di sisi-Nya. Namun jika merujuk pada pemahaman itu, saya mulai bertanya-tanya tentang kita semua yang masih diberi waktu untuk bisa belajar lebih untuk “memperbaiki diri” oleh-Nya, “apakah kita tahu kemana saat ini kita harus pulang?”.

Saya sering perhatikan kalau di dunia ini begitu banyak manusia yang “tersesat” dan tidak tahu kemana mereka harus pulang. Mereka berjalan dari satu tempat menuju tempat lainnya untuk sekedar mencari tahu, apakah ini tempat mereka untuk “pulang” ? Saya melihat pasangan suami-isteri yang terlalu sering cekcok karena perbedaan pendapat yang membuat mereka mencari “rumah” mereka masing-masing, mulai dari diskotik, klab malam, panti pijat plus+, sampai arisan “berondong”. Anak-anak  yang menemukan “rumah” mereka di dalam lingkungan pergaulan bebas hanya karena orang tua mereka yang jarang mereka temui, padahal mereka tinggal dalam satu atap yang sama. Atau yang paling parah dari yang pernah saya temui adalah mereka yang terpaksa harus menjadi orang lain atau mengikuti segelintir aturan atau “mainstream” yang bertentangan dengan dirinya hanya karena orang-orang terdekat  menuntutnya untuk seperti itu, sehingga ia merasa tidak lagi memiliki “rumah”.

Mungkin saya terlalu berlebihan dengan pandangan dan pemikiran saya ini, tapi itu yang sering saya temui dalam diri beberapa orang yang saya jumpai di kehidupan saya. Saya melihat tangisan mereka saat mereka tersenyum, saya juga mendengar jeritan mereka saat mereka tertawa. Saya coba melihat, mendengar, dan merasakan hal ini secara mendalam, betapa sedihnya mereka karena ketika masih di dunia saja mereka tidak tahu kemana mereka harus “pulang”, bagaimana nanti kelak di “Hari Perhitungan”?

Dari sini saya belajar lagi mengenai satu hal, bahwa setiap orang harus memiliki “rumah” bagi hatinya. Bahwa kita sebagai manusia harus bergegas “pulang” untuk sekedar menemui, mengerti, dan memahami kalau hidup kita begitu berarti ketika kita di “rumah”, kita merasa menemukan jalan “pulang”.

Kamis, 26 Agustus 2010

ANTAGONIS....

Belakangan ini saya teringat dengan tokoh "Joker", salah satu musuh dari superhero Batman yang pertama kali diperankan dengan sangat baik oleh Jack Nicholson dan kemudian oleh Alm. Heath Legder yang ia mendapat banyak pujian dari kritikus film. Joker adalah penjahat licik yang sadis dan bengis., Ia juga perampok, ahli pembuat bom yang berpakaian jas ungu gelap dengan riasan muka yang menyerupai badut. Salah satu yang menjadi "trademark" dirinya adalah senyumnya yang menyeringai, karena bibirnya yang lebar sampai  ke lesung pipi. Ia merupakan simbolisasi teror yang menakutkan dan sangat meresahkan bagi Gotham City, karena ia melakukan semua aksi kejahatannya atas dasar kesenangan pribadi semata. Joker melakukan kejahatan karena ia menyukai dan mencintai kejahatan.

Jika teringat pada tokoh Joker, saya selalu membayangkan betapa menyenangkannya menjadi seseorang yang jahat, licik, sadis, dan bengis. Saya berimajinasi, seandainya saya menjadi Joker, hal-hal apa saja yang akan saya lakukan untuk menebar teror. Yang pertama, saya akan merampok "kepala" tugu monas yang katanya tidak mungkin ada yang bisa mengambilnya. Lalu saya akan menge-bom arena Dunia Fantasi, karena itu menyerupai konsep Disney land yang berasal dari Amerika, berarti konsep yahudi dan saya benci yahudi. Terus saya akan menyandera Andi Mallaranggeng dan menyiksanya sampai mati, karena saya tidak suka dengan orang-orang yang "banyak omong". Dan yang terakhir saya akan merampok habis Bank Indonesia terutama rekening uang setoran pajak, karena saya tidak menyukai "sistem pajak".
Kalau saya sadari, ternyata saya tidak jauh berbeda atau bahkan bisa jadi lebih parah dari seorang penjahat. Apakah kalian juga merasakan dan memikirkan hal yang sama seperti saya? ternyata kita memiliki sisi gelap yang tidak terlihat namun terkadang sering kali muncul pada saat-saat yang tak terduga. Kita bisa menjumpainya dalam realita kehidupan sehari-hari, dimana setiap orang yang kita kenal ataupun tidak menunjukan sikap-sikap yang "tidak terpuji". Mulai dari orang-orang yang saling memaki dan membongkar aib orang lain dalam ruang persidangan, orang-orang berdasi yang keluar-masuk satu gedung ke gedung lain  hanya untuk menipu, sampai penegak hukum yang teramat sangat "ringan tangan" terhadap warga sipil.
Dalam keadaan yang membingungkan itulah saya mulai berpikir, "Sungguh ironis jika untuk melakukan sesuatu yang kita senangi, kita harus melakukan kejahatan terlebih dahulu seperti yang Joker lakukan" karena seperti itulah keadaan yang banyak saya temui dalam kehidupan ini, untuk dapat "sesuatu" bertahan maka kita harus menjadi seorang antagonis agar kita tidak digilas oleh roda zaman yang semakin tidak menentu arah perputarannya..     

Rabu, 25 Agustus 2010

Mati = Hidup

Baru-baru ini salah satu teman saya membuat pernyataan soal kematian. Dia menanyakan kepada saya, "seandainya gua meninggal, orang-orang yang sayang sama gua bakal nangis gak ya?"...Jujur, pertanyaan itu membawa saya pada sebuah polemik tersendiri tentang kematian. Dari sekian banyak orang yang mempengaruhi hidup saya menyatakan bahwa kematian itu merupakan salah satu ritme terpenting dalam kehidupan. Ada pertemuan, berarti ada perpisahan..ada yang datang juga ada yang pergi, dengan kata lain, ada kehidupan berarti ada kematian. Jadi, jika demikian adanya kenapa masih ada segelintir orang yang memilih kematian sebagai "solusi" terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah, padahal semua orang yang hidup pasti akan mati?
Kematian merupakan hal yang lazim namun sangat sulit untuk dipahami dan dimengerti oleh akal manusia. Kematian merupakan peristiwa lepasnya nyawa dari organisme biologi, atau bisa dibilang keadaan dimana terpisahnya roh dan jiwa dengan tubuhnya. Jadi sebenarnya, ketika kita memulai suatu kehidupan maka kita sudah mulai menghitung mundur menuju kematian. Kita harus menggunakan waktu  yang ada dengan sebaik mungkin untuk menuju sebuah kematian. Namun masih ada juga segelintir orang yang tidak memahami kematian secara bijak. Ketika sebagian besar orang berusaha sekuat tenaga untuk bisa hidup, sebagian kecil lainnya malah ingin mengakhiri hidupnya. Saya bersyukur bisa bertemu dengan "mereka-mereka" yang pernah ingin mennyelesaikan hidup dengan cara bunuh diri. Mereka mengakui, "solusi bunuh diri" ini muncul ketika mereka mengalami masalah-masalah yang berat dan merasa menemukan "jalan yang buntu" dalam kehidupan mereka. Mulai dari yang klise, masalah seputar romantika, kekecewaan, tertekan, merasa usefull, hopeless,  sampai dengan gejala neurosis lainnya yang membawa mererka pada keadaan helpless.
Tapi dari sekian banyak "mantan" pelaku bunuh diri yang saya pernah temui, ada yang paling menarik, saya menyebutnya sebagai "mayat yang hidup". Mereka hidup, tapi menjalani kehidupan mereka seperti orang mati. Tidak memiliki tujuan, pasif, apatis berlebihan, dan merasa diri mereka tidaklah nyata (maya). Mereka seperti tersesat ke dalam kehidupan yang "kopong" sehingga mereka merasa tidak menjalani sebuah ritme kehidupan yang nyata.
Berdasarkan pengalaman saya itu, akhirnya saya memiliki sebuah pemahaman yang mungkin agak kabur namun membuat saya tidak hanya sekedar melihat apa yang saya rasakan, tapi lebih merasakan apa yang tidak terlihat. Bahwa dari sekian banyak orang yang memiliki kehidupan, masih ada yang menolak memilikinya. Mereka lebih suka menikmati kematian daripada menjalani kehidupan. Padahal seandainya saja, mereka mau sedikit berdamai dengan diri mereka sendiri maka mereka akan mengerti bahwa dalam kehidupan ini masih banyak hal  sepele yang tidak hanya sekedar dijalani namun sangat indah untuk di nikmati. Dari mereka, saya belajar bahwa saya harus terus hidup untuk bisa "mati".       

Selasa, 24 Agustus 2010

kamar kosong nunoval: manusia....

kamar kosong nunoval: manusia....: "Manusia adalah mahluk paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri untuk mencapai kesuksesan dengan cara mengelola dan..."

manusia....

Manusia adalah mahluk paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri untuk mencapai kesuksesan dengan cara mengelola dan mengembangkan potensi diri secara terus menerus...tapi lucunya, jika kita amati "mereka" yang menyebut dirinya sebagai manusia justru sangat jauh dari nilai-nilai kesempurnaan. Kebanyakan dari mereka mengejar sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak tahu, kenapa mereka mengejar hal tersebut?..memang aneh.., itulah kira-kira kata yang sering saya gunakan untuk melihat peradaban manusia sekarang ini. Belum lagi sebagian dari kita yang sering kali menyuarakan perdamaian dengan dalih Hak Asasi Manusia..,padahal kita tidak tahu dengan pasti, asasi manusia mana yang dibela mereka?.., atau hanya sebatas kepentingan segelintir orang yang melihat peluang untuk menguasai manusia-manusia lain?...dan sebagian kecil lainnya adalah manusia-manusia sombong yang tanpa rasa malu menjual kemiskinan dan kemelaratan mereka di depan orang banyak. Yang satu ini memang agak unik, karena mereka terlihat seperti manusia-manusia yang tertindas dan membutuhkan pertolongan..padahal, kalau kita amati lebih mendalam sebenarnya mereka tertindas bukan oleh kemiskinan, melainkan oleh sisi kemanusiaan mereka sendiri yang selalu menganggap hanya diri mereka saja yang harus dibantu, padahal sering juga kita temui pengumpul-pengumpul materi yang memiliki ketidaknyamanan dan kebahagiaan dalam hidup mereka..
Saya bukanlah utusan-Nya yang ingin memberikan penghakiman.., hanya saja saya mencoba melihat, mendengar, dan merasakan semua hal hal yang mungkin sudah tidak lagi dilihat, dirasa, dan didengar oleh mereka para manusia...